Jumat, 09 Januari 2009

Santo Maximilian Kolbe - Martir dari Auschwitz

Maximilian Maria Kolbe, lahir 1894, wafat 1941, imam-biarawan Franciscan di Polandia, tahanan di perkampungan konsentrasi Auschwitz yang mengorbankan nyawanya dengan heroik untuk menggantikan posisi sesama tahanan. Dibeatifikasi pada tanggal 17 Oktober 1971. Dikanonisasi menjadi Santo pada tanggal 14 Agustus 1982, dan dipestakan pada tanggal yang sama. Lihat kalender Gereja.

"Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu. Tiada kasih yang lebih besar, selain daripada kasih seorang yang menyerahkan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya...Inilah perintah-Ku kepadamu: Kasihilah seorang akan yang lain" [Yohanes 15:12,13,17]

Menjelang sore dari suatu hari yang panas terik di bulan July 1941, seorang tahanan perang menyelinap pergi dari Auschwitz, sebuah perkampungan-konsentrasi ghetto bagi orang Yahudi di sebelah Selatan Polandia. Ketika menghilangnya orang tersebut diketahui pada saat absensi tahanan di malam hari, kelompok-kelompok pencari ditugaskan untuk pergi mencarinya. Jika tahanan yang kabur tersebut tidak ditemukan dalam waktu 24 jam, komandan perkampungan tahanan mengumumkan, sepuluh dari 600 orang-orang di barak penjara yang sama, akan dipilih secara acak dan akan dihukum mati sebagai balasannya.

Kematian bukan sesuatu hal yang langka di Auschwitz. Tetapi bagi para pesakitan, yang tinggal berdesak-desakan di ruang-ruang yang kumuh dan jorok di Blok 14, rasa was-was menghadapi kemungkinan dipilih untuk dihukum mati, sungguh merupakan suatu siksaan psikologis. Sepanjang malam yang terus bergulir, tidak bisa disalahkan kalau seseorang berharap dalam hati supaya tahanan yang melarikan diri tersebut tertangkap kembali.

Tetapi dia tidak ditemukan. Dia tidak pernah terdengar lagi kabar beritanya, menghilang dari sejarah, setelah mencetuskan apa yang tiga puluh tahun kemudian, disebutkan oleh Bapa Suci Sri Paus Paulus VI sebagai "mungkin seorang tokoh yang paling cerdas dan paling cemerlang" yang muncul dari "perlakuan yang sangat tidak manusiawi dan kekejaman yang tak terperikan dari jaman kekuasaan Nazi."

Tidak seorangpun yang bisa tidur di Blok 14 pada malam itu. Setiap orang sangat tertekan jiwanya. Harga diri, rumah, kebebasan, keluarga - semua telah hilang; sekarang jiwapun juga terancam. Salah seorang mantan tahanan, mantan serdadu Polandia Francis Gajowniczek berkata, "Setidaknya jika engkau masih hidup engkau masih bisa berharap." Bagi Gajowniczek, pengharapan itu sungguh-sungguh nyata. Dia percaya bahwa istrinya dan kedua puteranya masih hidup. Jika saja dia bisa keluar dengan selamat dari tempat yang penuh sengsara ini, dia akan dapat menemukan mereka kembali, dan bersama-sama mereka akan kembali membangun hidup mereka yang berantakan karena perang.

Di ranjang yang berdekatan berbaring seorang seniman profesional, Mieczyslaw Kowcielniak, yang sama sekali sudah kehilangan harapan. "Mereka yang beruntung sudah mati, " dia teringat berpikir demikian. "Dan tentara Nazi telah merubah kami semua menjadi binatang-binatang yang akan mencuri demi secomot roti. Kecuali sang imam."

Bahkan pada waktu itu, Koscielniak menyadari bahwa sang imam sungguh berbeda dengan orang lain. Meskipun seringkali jatuh sakit, lebih lemah fisiknya dibanding dengan banyak orang lain, sang imam tampaknya selalu membagikan makanan miliknya dengan orang-orang. Jika dia masih bisa berdiri, dia akan bekerja; jika ada yang jatuh kelelahan, dia akan mengambil beban orang tersebut. Dia menerimakan sakramen pengakuan dosa secara seumbunyi-sembunyi, dan bahkan selama malam yang panjang tersebut Koscielniak teringat melihat sang pastor berlutut di samping ranjang seorang anak muda yang menangis ketakutan, sambil mengatakan bahwa "kematian bukanlah sesuatu yang harus ditakutkan."

Ketika tiba saatnya para tahanan berbaris untuk absensi di pagi hari, matahari telah menyinarkan cahayanya. Tahanan dari blok tahanan lainnya telah berbaris menuju tempat kerja mereka, tetapi para laki-laki dari Blok 14 tetap berdiri di lapangan. Mereka terus berdiri sepanjang hari itu, sepuluh baris "tulang-tulang hidup". Beberapa yang jatuh semaput, ditendangi dan dipukuli sampai mereka berdiri lagi. Mereka yang tidak dapat kembali berdiri dilemparkan hingga menjadi suatu tumpukan.

Pada jam 6 sore, komandan perkampungan, Kolonel Fritsch, mengumumkan bahwa tahanan yang melarikan diri tersebut belumlah ditemukan. Sekarang dia akan memilih sepuluh orang yang harus mati. Mereka akan dibawa ke bunker (sel tahanan bawah tanah) dan akan dibiarkan kelaparan sampai mati.

Pemilihan hanya memakan waktu beberapa menit, tetapi bagi para tahanan tersebut waktu rasanya berjalan sangat lambat. Bunyi langkah-langkah sepatu bot di atas tanah yang terbakar terik matahari, Kolonel Fritsch berjalan dari satu baris ke baris lainnya. Sepuluh kali dia berhenti, menunjuk dan mengucapkan sepatah kata ditengah-tengah keheningan yang mengerikan: "Engkau!". Setiap kali pula, penjaga menggiring pesakitan yang dihukum mati itu ke depan. Beberapa diantara sepuluh orang tersebut menangis. Salah satunya, serdadu Gajowniczek, yang menjerit pilu, "Oh istriku! Anak-anakku yang malang!"

Sewaktu para penjaga bersiap-siap untuk menggiring pergi orang-orang terhukum mati tersebut, tiba-tiba ada keributan di tengah-tengah barisan. Tahanan yang kesebelas melangkah ke depan, yaitu sang imam. "Apa maunya si babi Polandia itu?" kolonel Fritsch berteriak. Tetapi sang imam tetap melangkah ke depan, langkahnya tidak tegap, wajahnya pucat seperti mayat, tidak menghiraukan todongan laras-laras senjata yang diarahkan oleh para pengawal kepadanya. Akhirnya, dia berkata: "Semoga menyenangkan Lagerfuhrer, saya ingin menggantikan tempat salah satu dari para tahanan ini." Dia menunjuk kepada Gajowniczek. "Yang itu".

Kolonel Fritsch terbelalak menyaksikan peristiwa yang terjadi di depan matanya. "Apa engkau sudah gila?" sang komandan Nazi berteriak.

"Tidak," jawab sang pastor. "Tetapi saya sendirian di dunia ini. Lelaki itu punya keluarga. Harap ambil saya."

"Siapakah engkau? Apa pekerjaanmu?"

"Saya seorang imam Katolik."

Orang-orang yang menyaksikan kejadian tersebut melihat dengan gelisah. Koscielniak teringat berpikir: "Fritsch akan mengambil keduanya, sang pastor maupun Gajowniczek." Dan apa yang dipikirkan oleh Fritsch, menatap pandang mata yang teduh dari wajah yang pucat dihadapannya? Apakah dia menyadari bahwa pada saat yang luar biasa tersebut dia menghadapi suatu kekuatan yang jauh lebih besar daripada dirinya sendiri? Mereka yang teringat pada peristiwa itu mengatakan bahwa pandang mata sang kolonel meredup. "Baiklah," dia bergumam, dan lantas membalikkan badannya.

Para laki-taki tahanan dari Blok 14 tersebut tercengang-cengang. "Kami sungguh tidak dapat mengerti," demikian Koscielniak berkata sekarang. "Mengapa seseorang mau melakukan hal seperti itu? Memangnya siapa sebetulnya dia, sang imam?"

Namanya adalah Maximilian Maria Kolbe, seorang imam-biarawan Fransiscan, dan setelah beberapa waktu, Koscielniak dan yang lain-lain yang selamat - mengerti bahwa mereka telah menjadi saksi dari suatu peristiwa yang menjadikan seorang Santo.

Raymond Kolbe - dia mengambil nama Maximilian ketika dia bergabung dengan tarekat religius Fransiscan - dilahirkan di desa miskin di Polandia pada tahun 1894, dan sejak umur 13 sudah memutuskan akan menjadi seorang imam. Pada umur sepuluh tahun, dia menceritakan kepada ibunya suatu pengalaman mistis dimana Santa Perawan Maria menawarkan kepadanya untuk memilih salah satu dari dua mahkota. Yang berwarna putih melambangkan kemurnian. Yang berwarna merah melambangkan kemartiran. "Saya ambil dua-duanya," sang anak lelaki berkata.

Dia mengidap penyakit TBC pada masa mudanya, dan sejak itu tidak pernah terbebas dari penyakit. Tetapi "dia adalah seorang yang paling berbakat," demikian kata salah satu professor yang mengajarnya di Universitas Gregorian di Roma. Pada usia 21 tahun dia telah mendapat gelar doktor dalam bidang filosofi. Setahun setelah pentahbisannya sebagai imam, dia mendapatkan satu lagi gelar, yaitu dalam bidang teologi. Dia mungkin bisa memiliki karir yang cemerlang dalam hirarki Gereja.

Tetapi panggilannya terletak di tempat lain. Pada tahun 1917, dia membangun suatu organisasi di Roma yang dinamakan Milisi Maria Immakulata, suatu kerasulan yang bertujuan untuk memenangkan kembali, dunia yang telah diracuni oleh peperangan dan oleh keterikatan terhadap hal-hal yang duniawi. Sekembalinya ke Polandia, dan bekerja sendirian di depan pandang mata para atasan-atasannya yang keheranan dan tidak habis pikir, dia mulai menerbitkan suatu majalah bulanan, Ksatria Immakulata, untuk mewartakan Injil cinta kasih Allah. Ketika terbitannya mencapai 60000 eksemplar, Pastor Kolbe terpaksa mencari tempat untuk menampung majalah yang telah tumbuh besar dan para bruder-bruder biarawan Fransiscan yang terus berdatangan untuk membantunya.

Pada tahun 1927, dia menempatkan suatu patung Bunda Maria di tengah-tengah lapangan sekitar 40 kilometer dari Warsawa - suatu awal dari apa yang nantinya akan menjadi biara yang terbesar di dunia, Niepokalanow, yang dibangun oleh Kolbe dan para biarawan-biarawan yang membantunya dan masih ramai dihuni hingga hari ini. Pada tahun 1939, ada lebih dari 750 imam dan biarawan di Niepokalanow, dan mereka mempublikasikan lebih dari sejuta eksemplar majalah Ksatria Immakulata setiap bulannya. Tetapi tahun 1939 juga merupakan tahun dimana Hitler memulai Perang Dunia II dengan serangan yang menghancurkan ke Polandia.

Karena tegas-tegas menentang Nazi, pastor Kolbe ditangkap bahkan sebelum Warsawa jatuh ke tangan Nazi. Dan meskipun dia dibebaskan segera setelahnya, dia menyadari bahwa penangguhan itu hanya sebentar. Dia bergegas kembali ke Niepokalanow yang telah di bom dan dirampok untuk membangun suatu tempat penampungan bagi kaum pengungsi, dan pada akhirnya 2000 tempat tinggal dibangun disana. Dia bahkan sempat menerbitkan satu edisi terakhir dari majalah yang digemarinya. "Tidak seorangpun di dunia ini bisa mengubah kebenaran," demikian tulisnya pada waktu itu. "Apa yang bisa kita lakukan hanyalah mencarinya, dan menjalaninya."

Pada tanggal 17 Februari 1941, Nazi datang kembali untuk mencarinya. Kali ini, dituduh sebagai musuh dari gerakan Nazi, pastor Kolbe dikirim pertama ke penjara di Warsawa dan lalu ke Auschwitz. Dia tiba dengan menumpang suatu gerbong untuk ternak, berjejal-jejal bersama 320 orang lainnya, disambut oleh kerja paksa yang sangat melelahkan, jatah secuil makanan yang terdiri dari sepotong roti dan kuah sayur kol, dan perlakuan di luar batas kemanusiaan hari demi hari. Suatu hari, selagi memanggul beban kayu yang berat dengan susah payah, pastor Kolbe terantuk dan jatuh, dan dipukuli sampai nyaris mati oleh para pengawal. Dia dirawat di rumah sakit perkampungan tahanan oleh seorang dokter Polandia yang bernama Rudolf Diem. Ketika dia tidak dapat bekerja, dia hanya mendapat setengah jatah makanan, tetapi seringkali masih membagi sebagian jatahnya kepada para pasien lainnya. "Engkau masih muda," demikian katanya. "Engkau harus tetap hidup."

Meskipun sakit, beratnya kurang dari 45 kilogram, pastor Kolbe bisa tidur diatas ranjang di rumah sakit. "Tetapi dia bersikeras untuk tidur diatas dipan kayu yang dilapisi jerami, " Dr. Diem berkata. "Dia ingin memberikan ranjang yang lebih enak kepada mereka yang jauh lebih buruk keadaannya daripada dirinya sendiri." Menjelang akhir bulan Juli, merasa lebih baik, sang pastor ditugaskan di Blok 14. Hanya beberapa hari kemudian ada tahanan yang melarikan diri dan pastor Kolbe mengulurkan tangannya untuk menyambut mahkota kemartiran.

Sepuluh lelaki yang dipilih untuk mati kelaparan, sekarang berbaring telanjang bulat diatas lantai semen di dalam sel bawah tanah yang gelap di Blok 13. Kadang-kadang mereka menjerit-jerit dan menangis dalam keadaan setengah sadar akibat kesengsaraan yang amat sangat. Tetapi selama mereka sadar mereka merespon terhadap jaminan-jaminan yang diberikan oleh pastor Kolbe bahwa Tuhan tidak meninggalkan mereka. Ketika mereka mempunyai kekuatan, mereka berdoa dan menyanyi. Setelah beberapa hari, para penjaga, yang telah menyaksikan ratusan orang meninggal tetapi tidak pernah menyaksikan seorangpun menghadapi kematian dengan begitu tenangnya, menolak untuk mendekati sel kematian tersebut dan menyuruh seorang juru-rawat etnis Polandia untuk mengangkat mayat-mayat mereka yang telah meninggal.

Di blok 14, serdadu Gajowniczek pada awalnya tidak dapat mengerti atas pengorbanan pastor Kolbe. Dia terus menangis dan menolak untuk makan. Lantas Koscielniak membuatnya tersadar: "Sadarlah! Apakah sang imam akan mati dengan sia-sia?" Pada saat itu, Gajowniczek mengambil keputusan bahwa dia harus tetap hidup. Dia tidak akan menyia-nyiakan karunia yang diberikan lewat pastor Kolbe. Juga bagi Koscielniak, pengorbanan sang imam mengakhiri rasa putus-asanya. "Satu saja orang seperti itu sudah menjadi alasan yang cukup untuk jalan terus."

Setelah dua minggu berlalu, hanya empat orang yang masih hidup di sel bawah tanah di Blok 13, dan dari kempat orang itu, pastor Kolbe adalah yang paling terakhir meninggal. Seolah-olah dia harus menolong setiap kawan satu selnya untuk melalui derita terakhir sebelum dirinya sendiri bisa terbebaskan dari derita yang sama. Para penjaga terpaksa harus menghabisinya. Mereka datang untuk membunuhnya lewat injeksi asam karbolat pada hari ke limabelas dari kesengsaraannya, yaitu tanggal 14 Agustus, sehari menjelang hari raya Maria Diangkat Ke Surga (dirayakan setiap 15 Agustus). Dengan tersenyum dan berbisik, "Ave Maria, " sang pastor mengulurkan tangannya untuk disuntik mati.

Empat tahun sesudahnya, kisah horor tersebut berakhir, Francis Gajowniczek berhasil kembali ke tempat dimana dulu tempat tinggalnya di Warsawa dan menemukan bahwa rumahnya sudah terkena bom dan tinggal puing-puing. Kedua puteranya terbunuh akan tetapi istrinya selamat. Mereka pindah ke suatu desa kecil dan dengan perlahan membangun kembali hidup mereka yang baru.

Kemudian Gajowniczek mendengar berita yang mencengangkan: kabar tentang pastor Kolbe yang menjadi martir telah mencapai Vatikan, dan telah diusulkan agar ia dibeatifikasi, suatu langkah awal bagi kanonisasi dirinya sebagai seorang Santo Gereja Katolik. Gajowniczek dipanggil oleh Gereja untuk memberikan kesaksiannya, demikian juga mereka yang lainnya yang telah menjadi saksi atas tindakan-tindakan Kolbe yang tidak mementingkan diri sendiri maupun kisah kematiannya yang heroik. Akhirnya, 24 tahun setelah penyelidikan yang sangat teliti, keputusan yang diambil telah dikuatkan.

Demikianlah pada tanggal 17 Oktober 1971, di atas altar agung Basilika Santo Petrus di Roma, 8000 pria dan wanita yang telah menempuh perjalanan dari Polandia mengikuti perayaan beatifikasi yang khidmat. Diantara mereka adalah Francis Gajowniczek dan istrinya, dua-duanya sudah pensiun dan tua-renta, demikian juga Koscielniak. Sebuah potret dari Beato Pastor Kolbe disingkapkan, dan untuk pertama kalinya dalam memori, Sri Paus sendiri yang memimpin ritus yang agung dan kudus tersebut.

"Berjuta-juta orang telah dikorbankan oleh kesombongan dari kekuasaan dan kegilaan dari rasialisme," demikian kata-kata Bapa Suci. "Tetapi di tengah-tengah kegelapan tersebut bersinarlah tokoh Maximilian Kolbe. Di atas ruang kematian yang besar tersebut melayang-layanglah firman kehidupan-Nya yang Ilahi dan kekal: kasih yang penuh penebusan."

Demikian Pastor Kolbe tetap hidup, sebagai suatu simbol pengorbanan dan kepahlawanan yang tidak dikenal oleh dunia ini. Dia memberikan karunia kehidupan kepada seorang lain, dan bagi yang lain-lainnya, suatu hati yang mengalahkan tirani yang menindas mereka. Dan bagi segenap manusia, dari segala aliran kepercayaan, dia meninggalkan warisan atas rohnya yang tidak terpatahkan.

Rahasia Heroisme Santo Maximilian Kolbe
dalam kata-katanya sendiri:

Jaman modern didominasi oleh Setan dan akan lebih buruk lagi di masa mendatang. Pertentangan dengan neraka tidak bisa dimenangkan oleh manusia, bahkan yang paling pintar sekalipun. Hanya Immakulata saja yang telah mendapat janji dari Allah, kemenangan atas Setan.

Jangan takut untuk terlalu mengasihi Immakulata karena kita tidak akan pernah dapat menyamai kasih yang diberikan oleh Yesus kepada Maria, dan mengikuti jejak langkah-Nya adalah proses penyucian diri kita.

Cobalah untuk melakukan segala hal sebagaimana Maria akan lakukan kalau dia adalah engkau, terutama dengan mengasihi Tuhan sebagaimana dia mengasihi-Nya.... Tetapi hal ini cuma bisa engkau pelajari "dengan berlutut" (=rendah hati).

Kasih, yang adalah "persatuan yang sempurna" tumbuh dan mencukupi dirinya sendiri hanya lewat penderitaan, pengorbanan, dan kayu salib.

Tidak ada heroisme yang tidak dapat dicapai oleh seseorang dengan bantuan Immakulata.

Santo Ignatius dari Loyola - Pendiri Serikat Yesus

Awal Mulanya

Inigo de Loyola dilahirkan pada tahun 1491 di Azpeitia di provinsi Guipuzcoa di wilayah Basque di sebelah utara Spanyol. Dia adalah anak bungsu dari tigabelas bersaudara. Pada usia enam belas tahun dia dikirim untuk bekerja sebagai pesuruh bagi Juan Velazquez, bendaharawan kerajaan Castile. Sebagai anggota rumah tangga Velazquez, dia seringkali tampil di balai sidang dan mengembangkan cita rasa terhadap segala hal mengenainya, terutama urusan perempuan. Dia sangat suka berjudi, suka bertengkar, dan terlibat dalam adu pedang. Bahkan dalam suatu perselisihan antara keluarga Loyola dan keluarga lainnya, Ignatius dan saudara lelakinya dengan disertai beberapa sanak famili pada suatu malam menyerang beberapa kaum religius anggota keluarga lain tersebut. Ignatius harus melarikan diri ke luar kota. Ketika akhirnya dibawa ke pengadilan, dia membela dirinya dengan menyatakan "imunitas religius" karena telah "dicukur gundul" (seperti layaknya rambut kaum biarawan pada waktu itu) sewaktu masih sebagai seorang anak laki-laki, dan oleh karenanya bebas dari pengadilan sipil. Ini adalah pembelaan diri yang semu karena selama bertahun-tahun dia telah berpakaian sebagai ksatria berpedang, mengenakan baju besi, dan membawa-bawa pedang termasuk senjata-senjata lainnya. Jelas ini bukan baju yang biasanya dikenakan oleh kaum religius. Kasus ini berlarut-larut sampai beberapa minggu tetapi keluarga Loyola tampaknya sangat berpengaruh. Mungkin melalui pengaruh kaum petinggi, kasus terhadap Ignatius akhirnya ditutup.

Pada usianya yang ke-30 di bulan May 1521, Ignatius adalah salah seorang tentara yang membela kubu-kubu kota Pamplona terhadap serangan Perancis, yang menyatakan wilayah tersebut sebagai wilayah mereka dan berperang dengan Spanyol. Orang-orang Spanyol kalah jauh dari segi jumlah dan komandan pasukan Spanyol ingin menyerahkan diri, tetapi Ignatius meyakinkannya untuk bertempur demi kehormatan Spanyol kalau bukan demi kemenangan. Pada waktu pertempuran sebuah bom kanon mengenai Ignatius, melukai salah satu kakinya dan mematahkan kaki yang satu lagi. Karena mereka mengagumi keberaniannya, tentara-tentara Perancis tidak menjebloskannya ke penjara, melainkan mengusungnya kembali ke rumahnya untuk berobat, di puri Loyola.

Kakinya sembuh tetapi tidak sempurna, sehingga perlu untuk mematahkannya kembali dan meluruskannya, semua ini dilakukan tanpa pembiusan. Kondisi Ignatius memburuk dan akhirnya para tabib memberitahukan supaya ia bersiap-siap untuk mati.

Pada hari raya Santo Petrus dan Paulus tanggal 29 Juni, kondisinya secara tak terduga membaik. Kakinya sembuh, tetapi meski demikian tulangnya menonjol dibawah tempurung lututnya dan kakinya pendek sebelah. Ignatius tidak dapat menerima hal ini dan menganggapnya sebagai nasib buruk yang lebih buruk daripada kematian karena tidak bisa lagi memakai sepatu boot tinggi yang ketat dan celana ketat yang biasa dipakai oleh kaum ksatria kerajaan. Oleh karenanya dia menyuruh para tabib untuk memotong benjolan tulang yang menonjol dan memanjangkan tulang kakinya dengan merenggangkan secara sistematis. Lagi-lagi hal ini semua dilakukan tanpa anestesia. Sungguh malang, segala usaha ini tidak berhasil. Sepanjang hidupnya dia berjalan pincang karena salah satu kaki lebih pendek dari yang lainnya.

Pertobatan Ignatius

Selama minggu-minggu panjang pengobatannya, dia merasa sangat bosan dan meminta disediakan cerita-cerita roman percintaan untuk menghabiskan waktunya. Untungnya di kastil Loyola tidak ada buku demikian, tetapi ada buku tentang hidup Kristus dan sebuah buku tentang para kudus. Karena terdesak, Ignatius mulai membacanya. Semakin banyak dia membaca, semakin dia beranggapkan bahwa kisah para kudus tersebut patut untuk ditiru. Akan tetapi, pada saat yang sama dia juga masih memiliki mimpi-mimpi indah tentang ketenaran dan kemuliaan, termasuk fantasi-fantasi memenangkan cinta gadis bangsawan tertentu. Identitas wanita ini tidak pernah diketahui tetapi agaknya dia dari keturunan bangsawan. Akan tetapi dia mendapatkan bahwa setelah membaca dan merenungkan kisah para kudus dan Kristus dia berada dalam kedamaian dan merasa puas lahir-batin. Tetapi waktu dia berfantasi tentang gadis bangsawan tersebut, hatinya merasa tidak tenang dan tak terpuaskan. Pengalaman ini tidak hanya merupakan awal dari pertobatannya, tetapi juga awal dari pertimbangan spiritual, atau pertimbangan roh, yang diasosiasikan dengan Ignatius dan seperti dijelaskan dalam Latihan Rohani-nya.

Latihan tersebut menyatakan bahwa tidak hanya segi intelektual tapi juga emosi dan perasaan bisa membantu kita untuk memahami kerja Roh dalam hidup kita. Akhirnya, bertobat sepenuhnya dari segala keinginan-keinginan dan rencana romans dan kemenangan duniawi, dan sembuh dari luka-lukanya sehingga dia bisa bepergian, pada bulan Maret 1522 dia meninggalkan puri tempat tinggalnya.

Dia telah memutuskan untuk pergi ke Yerusalem untuk tinggal di tempat dimana Tuhan kita menjalani hidup-Nya di dunia. Sebagai langkah pertama dia memulai perjalanannya ke Barcelona, Spanyol. Meskipun dia telah bertobat dari cara-cara hidup yang lama, dia masih sangat kurang memiliki semangat kerendah-hatian dan penghayatan hidup Kristiani, seperti bisa digambarkan dari pengalamannya bertemu dengan orang Moor (penganut Muslim) dalam perjalanannya. Orang Moor tersebut bertemu dengannya di tengah jalan, mereka sama-sama menunggang keledai, dan mereka mulai mendebatkan topik-topik religius. Orang Moor itu mengatakan bahwa Santa Perawan Maria tidak lagi merupakan seorang perawan setelah melahirkan Kristus. Ignatius menganggap hal ini sebagai suatu penghinaan besar dan dia menimbang-nimbang tentang apa yang akan dilakukannya. Merekapun sampai ke persimpangan jalan, dan Ignatius memutuskan bahwa dia akan melihat apa yang akan terjadi untuk memutuskan tindakan yang akan dilakukannya. Orang Moor itu meneruskan ke satu arah. Ignatius melepaskan tali kekang keledainya dan membiarkan keledainya memilih arah di persimpangan tersebut. Kalau keledainya mengikuti arah yang diambil oleh orang Moor tersebut, dia akan membunuh orang itu. Kalau sang keledai mengambil arah yang satu lagi, dia tidak akan menyerang orang Moor itu. Untungnya bagi si orang Moor, keledai Ignatius lebih bermurah hati daripada penunggangnya dan mengambil jurusan yang berlawanan dengan orang Moor tersebut.

Dia meneruskan ke tempat ziarah Bunda Maria dari Montserrat yang diasuh oleh kaum Benediktin, menerimakan pengakuan dosa umum, dan berlutut sepanjang malam di depan altar Bunda Maria, mengikuti tata-cara kebiasaan para ksatria. Dia menanggalkan pedang dan pisaunya di altar, berjalan keluar dan memberikan semua baju-bajunya yang indah kepada seorang miskin, dan mendandani dirinya dengan pakaian kain kasar dengan sendal dan tongkat.

Pengalaman di Manresa

Dia meneruskan perjalanannya ke Barcelona tetapi berhenti sepanjang sungai Cardoner di kota yang disebut Manresa. Dia tinggal di sebuah gua diluar kota dan bermaksud untuk tinggal hanya beberapa hari, tetapi ternyata dia tinggal selama sepuluh bulan. Dia menghabiskan berjam-jam setiap harinya dalam doa dan juga bekerja di suatu balai perawatan. Disalanah ide-ide yang sekarang dikenal sebagai Latihan Rohani mulai terbentuk. Juga di pinggiran lekuk sungai inilah dia mendapatkan penglihatan yang dianggap sebagai yang paling menonjol selama hidupnya. Penglihatan itu lebih merupakan suatu pencerahan, yang mana dia nantinya mengatakan bahwa dia belajar lebih banyak dalam satu kesempatan itu daripada seumur hidupnya. Ignatius tidak pernah menjelaskan apa tepatnya penglihatan yang dialaminya tersebut, tetapi agaknya merupakan peristiwa penglihatan Ilahi dengan kemuliaan-Nya sehingga semua ciptaan tampak dalam sudut pandang yang baaru dan dia mendapat makna yang baru dan relevansi, suatu pengalaman yang memungkinkan Ignatius untuk melihat kehadiran Allah dalam segala hal. Karunia ini, yaitu menemukan Allah dalam segala hal, adalah satu satu karakteristik utama dari spiritualitas Yesuit.

Ignatius sendiri tidak pernah menulis dalam aturan-aturan Yesuit bahwa mesti ada jam-jam tertentu untuk berdoa. Sesungguhnya, dengan menemukan Allah dalam segala hal, setiap waktu adalah waktu untuk berdoa. Tentunya, dia tidak menghapuskan doa-doa formal, tetapi dia berbeda dengan berbagai pendiri tarekat religius lainnya menyangkut penentuan saat-saat tertentu untuk berdoa maupun lamanya waktu berdoa. Salah satu alasan mengapa sebagian kalangan menentang pembentukan formasi Serikat Yesus adalah karena Ignatius mengusulkan untuk menghapuskan nyanyian doa-doa Brevir dalam koor. Ini adalah perubahan yang radikal dari kebiasaan pada waktu itu, karena sampai saat itu, setiap tarekat religius diharuskan untuk mengucapkan doa-doa liturgi harian yang sama (doa Brevir). Bagi Ignatius, pengucapan seperti itu berarti model aktivitas yang dibayangkan dalam Serikat Yesus tidak dapat terlaksanakan. Beberapa saat setelah wafatnya Ignatius, seorang Paus begitu jengkelnya mengenai hal ini sehingga dia mengharuskan pengucapan doa Brevir kepada kaum Yesuit. Untungnya, Paus berikutnya lebih pengertian dan membolehkan kaum Yesuit untuk kembali pada praktek spiritualisme mereka.

Pada periode yang sama di Manresa, sewaktu dia masih kurang memahami kebijakan yang sejati menyangkut kekudusan, dia melakukan banyak penitensi yang ekstrim, karena keinginan untuk melebihi apa-apa yang dilakukan oleh para kudus lewat buku yang dibacanya tentang mereka. Mungkin, beberapa dari penitensi ini, terutama puasanya, melemahkan pencernaannya, yang terus menggangunya sepanjang hidupnya. Dia masih belum belajar sikap tidak berlebihan dan spiritualisme yang sejati. Mungkin ini juga sebabnya kongregasi yang nantinya didirikan olehnya tidak memiliki aturan-aturan penitensi yang telah ditentukan, seperti layaknya dimiliki oleh tarekat-tarekat religius lainnya.

Dia akhirnya tiba di Barcelona, berlayar ke Italia, dan tiba di Roma dimana dia bertemu dengan Paus Adrianus VI dan meminta ijin untuk melakukan perjalanan ziarah ke Tanah Suci, Yerusalem. Setibanya dia di Tanah Suci dia ingin tinggal, tetapi diperintahkan oleh atasan Fransiskan yang memiliki otoritas terhadap seluruh umat Katolik disana, bahwa situasinya terlalu berbahaya. Ingat bahwa orang Turki adalah penguasa Tanah Suci. Atasan tersebut memerintahkan Ignatius untuk pergi tetapi Ignatius menolak. Tetapi ketika diancam dengan eks-komunikasi (pengucilan) Ignatius barulah menurut.

Kembali ke Sekolah

Pada saat ini dia telah berusia 33 tahun dan memutuskan untuk masuk seminari. Akan tetapi, dia telah melalaikan belajar bahasa Latin, suatu syarat penting untuk belajar di universitas pada masa itu. Sehingga dia harus kembali ke sekolah untuk belajar tata-bahasa Latin bersama-sama dengan anak-anak kecil di suatu sekolah di Barcelona. Disana dia meminta-minta untuk makan dan tempat berteduh. Setelah dua tahun dia meneruskan ke Universitas Alcala. Disanalah semangatnya yang menggebu-gebu membawanya pada kesulitan, masalah yang terus menghantuinya sepanjang hidupnya. Dia mengumpulkan anak-anak sekolah maupun orang dewasa dan mengajarkan Injil kepada mereka dan mengajarkan mereka cara berdoa. Kerja kerasnya mengundang perhatian pihak Inkuisisi dan diapun dimasukkan ke penjara selama 42 hari. Ketika dia dibebaskan dia diminta untuk tidak kembali mengajar. Inkuisisi Spanyol agak sedikit paranoid dan siapapun yang belum ditahbiskan sebagai imam bisa dicurigai (termasuk juga mereka yang sudah ditahbiskan.)

Karena dia tidak bisa menahan dorongan semangatnya untuk menolong, Ignatius pindah ke Universitas Salamanca. Disana, dalam waktu dua minggu, kaum Dominikan kembali menjebloskan dia ke penjara. Meskipun mereka tidak dapat menemukan penyelewengan iman dari apa yang Ignatius ajarkan, dia hanya dibolehkan untuk mengajar anak-anak kecil dan itupun hanya semata-mata kebenaran iman yang sederhana. Sekali lagi dia melakukan perjalanan kali ini menuju Paris.

Di Universitas Paris dia meneruskan pelajarannya, belajar tata-bahasa Latin dan literatur, filosofi, dan teologi. Dia menghabiskan waktu beberapa bulan setiap musim panas untuk meminta-minta di Flanders demi uang yang digunakannya untuk menghidupi dirinya sendiri dan membiayai pelajarannya sepanjang tahun itu. Di Paris dia bertemu dan tinggal bersama Franciscus Xaverius dan Peter Faber. Dia juga sangat mempengaruhi beberapa orang lainnya sesama seminarian dan memberi pengarahan kepada mereka semua dari waktu ke waktu selama tiga puluh hari, yang mana hal ini nantinya dikenal sebagai Latihan Rohani. Franciscus Xaverius adalah yang paling sulit menerima bimbingan karena pikirannya dipenuhi oleh kesuksesan dan kemuliaan duniawi. Akhirnya Ignatius dan enam lainnya memutuskan untuk mengambil kaul selibat dan kemiskinan dan pergi ke Tanah Suci. Kalau tidak mungkin melakukan perjalanan ke Tanah Suci, mareka akan pergi ke Roma dan menyerahkan tugas pelayanan mereka sesuai kehendak Sri Paus. Mereka tidak melakukan semua hal ini sebagai suatu tarekat religius atau kongregasi, tetapi sebagai imam-imam secara individual. Selama setahun mereka menunggu, akan tetapi tidak ada satupun kapal yang bisa mengangkut mereka ke Tanah Suci karena pertikaian antara umat Kristen dan Muslim. Sementara menunggu mereka menghabiskan waktu dengan bekerja di rumah sakit dan mengajarkan katekisme di berbagai kota di wilayah utara Italia. Selama masa inilah Ignatius ditahbiskan menjadi imam, meskipun dia tidak memimpin Misa Kudus sampai setahun berikutnya. Dipercaya bahwa dia ingin merayakan Misa pertamanya di Yerusalem, di tempat dimana Yesus sendiri pernah hidup.

Perkumpulan Yesus

Ignatius bersama-sama dua pendampingnya, Peter Faber dan James Lainez, memutuskan untuk pergi ke Roma dan menyerahkan misi mereka sesuai kehendak Sri Paus. Beberapa kilometer diluar kota Ignatius kembali mendapat pengalaman mistik. Di suatu kapel di La Storta dimana mereka pernah berhenti untuk berdoa, Allah Bapa memberitahukan kepada Ignatius, "Aku menyukai engkau tinggal di Roma" dan bahwa Dia akan menempatkan Ignatius bersama Putera-Nya. Ignatius tidak mengerti makna dari pengalaman mistis tersebut, karena bisa saja berarti penindasan maupun keberhasilan karena Yesus mengalami keduanya. Tetapi hatinya merasa tenang karena seperti dikatakan oleh Santo Paulus, "berada bersama Yesus meski dalam penindasan adalah suatu keberhasilan." Ketika mereka bertemu dengan Sri Paus, dia dengan gembira menugaskan mereka untuk mengajar Kitab Suci, teologi dan pewartaan. Disinilah pada pagi hari Natal 1538 Ignatius merayakan Misanya yang pertama di gereja Santa Maria Mayor di Kapel Palungan. Kapel ini dipercaya memiliki palungan yang asli dari Betlehem, jadi, jika Ignatius tidak bisa merayakan Misanya yang pertama di tempat kelahiran Yesus di Tanah Suci, maka ini adalah alternatif yang terbaik.

Selama masa pra-Paskah berikutnya, tahun 1539, Ignatius meminta semua kawan-kawannya untuk datang ke Roma untuk mendiskusikan masa depan mereka. Mereka tidak pernah berpikir untuk mendirikan tarekat religius sebelumnya, tetapi sekarang melihat kenyataan bahwa mereka tidak mungkin pergi ke Yerusalem, mereka harus memikirkan masa depan mereka. Apakah mereka akan menghabiskan waktu mereka bersama-sama. Setelah berminggu-minggu dalam doa dan diskusi, mereka memutuskan untuk membentuk suatu komunitas, dengan persetujuan Sri Paus, dimana mereka akan mengucapkan kaul kepatuhan kepada seorang pejabat superior yang menduduki jabatan itu seumur hidupnya. Mereka juga menyerahkan diri mereka sesuai kehendak Bapa Suci untuk pergi kemanapun dia menyuruh mereka dan untuk tugas apapun. Kaul ini ditambahkan atas kaul-kaul lainnya yang umum seperti kaul kemiskinan, kaul selibat, dan kaul kepatuhan. Persetujuan resmi atas tarekat terbaru ini diberikan oleh Paus Paulus III pada tahun berikutnya, tanggal 27 September 1540. Karena mereka merujuk pada dirinya sendiri sebagai Perkumpulan Yesus (dalam bahasa Latin disebut Societatis Jesu), dalam bahasa Indonesia tarekat mereka dikenal sebagai Serikat Yesus. Ignatius terpilih pada voting yang pertama sebagai superior jendral, tetapi dia memohon dengan sangat agar mereka untuk mempertimbangkan kembali, berdoa dan memilih ulang beberapa hari sesudahnya. Pada pemungutan suarata yang kedua kalinya, kembali Ignatius terpilih dengan suara bulat, kecuali pilihan Ignatius sendiri tentunya. Dia masih saja enggan untuk menerima jabatan ini, tetapi pembimbing spiritualnya, seorang anggota tarekat Fransiskan mengatakan kepadanya bahwa ini adalah kehendak Allah, oleh karena itu Ignatius menurut. Pada hari Jumat, minggu perayaan Paskah, 22 April 1541, di Gereja Santo Paulus-diluar-Dinding, para sahabat tersebut mengucapkan kaul-kaul mereka dalam tarekat yang baru saja terbentuk.

Tahun-tahun Terakhir

Kecintaan Ignatius adalah untuk secara aktif terlibat mengajar katekisme kepada kanak-kanak, mengarahkan orang dewasa dalam Latihan Rohani, dan bekerja diantara orang-orang miskin di rumah sakit. Namun dia mengorbankan kecintaan ini selama lima belas tahun berikutnya, yaitu sampai wafatnya, dengan bekerja dari dua ruang kecil, kamar tidurnya dan disebelahnya adalah ruang kerjanya. Dari sinilah dia memberi pengarahan kepada serikat yang baru ini di seluruh dunia. Dia menghabiskan waktu bertahun-tahun menuliskan Konstitusi Serikat dan menuliskan ribuan surat-surat ke segala penjuru dunia kepada sesama kaum Yesuit yang menyangkut segala hal-hal yang berhubungan dengan Serikat Yesus dan juga memberi pengarahan spiritual kepada kaum awam pria dan wanita. Dari tempat tinggalnya yang kecil di Roma, dia akan melihat semasa hidupnya perkembangan Serikat Yesus dari delapan anggota menjadi seribu anggota, dengan universitas dan rumah-rumah spiritual yang tersebar di segala penjuru Eropa sampai Brazilia dan Jepang. Beberapa dari sesama pendiri Serikat nantinya menjadi teolog-teolog asisten Sri Paus di Konsili Trente, suatu peristiwa yang merupakan tonggak penting dalam Gerakan Katolik Kontra-Reformasi.

Pada mulanya, Ignatius menulis sendiri surat-suratnya, tetapi setelah Serikat Yesus berkembang menjadi besar dan tersebar ke seluruh dunia, nyaris tidak mungkin baginya untuk berkomunikasi dengan setiap orang dan masih punya waktu untuk mengurus Serikat yang baru ini. Oleh karenanya father Polanco diangkat menjadi sekretaris pada tahun 1547 untuk membantu Ignatius dalam hal korespondensi surat-surat. Ignatius menulis nyaris 7000 surat sepanjang hidupnya, dan sebagian besar ditulis setelah dia diangkat menjadi pejabat superior jendral Yesuit. Ignatius menganggap bahwa korespondensi antara para anggota Yesuit sebagai elemen yang paling penting dalam membina persatuan. Perpisahan antara Yesuit di seluruh dunia adalah salah satu bahaya terbesar bagi perkembangannya, kerasulan maupun persatuan Serikat Yesus. Oleh karenanya dia tidak hanya menulis kepada semua rumah-rumah spiritual tarekat tersebut, tetapi dia juga memerintahkan supaya setiap superior lokal di seluruh dunia menulis surat secara teratur ke Roma, dan menginformasikan kepadanya tentang hal-hal yang terjadi. Informasi ini lantas bisa diteruskan ke pusat-pusat Yesuit dimanapun.

Dalam surat-suratnya kepada anggota-anggota Serikat, dia memperlakukan mereka masing-masing secara individual. Dia sangat bermurah hati dan lembut terhadap mereka yang paling memberinya kesulitan. Di lain pihak, terhadap mereka yang paling saleh dan rendah hati, dia tampak kadangkala terlalu keras, tentunya karena dia tahu bahwa mereka bisa menerima koreksinya tanpa protes, karena menyadari bahwa Ignatius mengasihi mereka dan semata-mata ingin yang terbaik bagi kehidupan spiritual mereka. Father James Lainez, salah satu pendamping Ignatius sejak awalnya, adalah pejabat superior provinsi di Italia Utara. Dia telah melakukan beberapa hal yang membuat Ignatius menjadi sorotan publik, termasuk membuat beberapa komitmen yang tidak dapat dipenuhi oleh Ignatius. Ditambah lagi, Lainez pernah menyatakan ketidak-setujuannya kepada yang lain-lainnya tentang suatu pergantian personel yang dibuat oleh Ignatius.

Ignatius menulis kepada Lainez melalui sekretarisnya, father Polanco: Dia (Ignatius) meminta saya untuk menulis kepadamu dan mengatakan kepadamu untuk mengurus wilayahmu sendiri, yang mana jika engkau lakukan dengan baik, engkau telah melakukan lebih daripada biasanya. Jangan engkau memusingkan diri dengan memberikan pendapatmu terhadap urusan-urusannya, karena dia tidak menghendaki pendapat darimu kecuali kalau dia memintanya, dan malah lebih tidak lagi sekarang ini setelah engkau menduduki jabatanmu, karena administrasi provinsimu belum berbuat banyak untuk menambah kredibilitasmu dimatanya. Periksalah kesalahanmu di hadapan Allah Tuhan kita, dan selama tiga hari sempatkan waktumu untuk berdoa bagi hal ini. Orang-orang kudus itu tidak hanya semata-mata orang yang baik hati.

Lainez menerima kritikan tajam ini dengan kerendahan hati dan meminta untuk diberikan beberapa tugas berat sebagai penitensi, seperti misalnya diturunkan dari jabatannya dan diberikan tugas yang paling keras dalam Serikat Yesus. Ignatius bahkan tidak pernah lagi menyinggung insiden tersebut, dan membiarkan Lainez menjalankan tugasnya seperti sebelumnya. Lainez nantinya akan menggantikan Ignatius sebagai Superior Jendral Yesuit yang kedua.

Meski penuh semangat untuk membawa orang-orang kepada Allah dan menolong mereka secara spiritual, Ignatius tetap merupakan seorang yang praktis dan masuk akal. Seorang anggota Yesuit pernah mengeluh karena mendapat kesulitan dari sekelompok umat yang sangat taat yang memonopoli semua waktunya tanpa alasan yang kuat. Melalui father Polanco, Ignatius memberi petunjuk kepadanya bagaimana menangangi dengan secara rendah hati, orang-orang yang demikian, tanpa membuat mereka merasa tersinggung. Ignatius juga pernah menyatakan bagaimana untuk membebaskan diri kita dari orang yang sudah tidak bisa diharapan. Dia menyarankan untuk berbicara kepada orang itu dengan tegas mengenai neraka, penghakiman dan hal-hal demikian. Dengan demikian dia tidak akan kembali terus mengganggu, dan jikapun dia kembali, ada kemungkinan dia bisa tersentuh oleh Tuhan.

Ada seorang uskup yang punya rasa permusuhan yang besar terhadap Serikat Yesus. Dia menolak untuk membolehkan tarekat ini di wilayah keuskupannya, dan dia mengucilkan siapapun yang menjalakan Latihan Rohani. Dia dikenal sebagai uskup "Cilicio" oleh para Yesuit. ("Cilicio" adalah pakaian dari kain kasar yang biasa dipakai sebagai tanda penitensi.) Ignatius mengatakan kepada para Yesuit yang cemas terhadap sikap uskup ini untuk relaks "uskup Cilicio adalah seorang yang sudah tua. Serikat Yesus masih muda. Kita bisa menunggu."

Yesuit dan Dunia Pendidikan

Mungkin karya pelayanan Serikat Yesus yang dimulai oleh Ignatius yang paling terkenal adalah dalam dunia pendidikan. Akan tetapi sungguh menarik kenyataan bahwa dia tidak bermaksud untuk menyertakan pengajaran ditanara karya pelayanan Yesuit pada mulanya. Seperti telah disebutkan sebelumnya, tujuan para anggota-anggota yang pertama adalah menyerahkan diri kepada kehendak Sri Paus untuk pergi kemanapun mereka dibutuhkan. Sebelum tahun 1548, Ignatius telah membuka sekolah-sekolah di Italia, Portugis, Belanda, Spanyol, Jerman dan India, tetapi sekolah-sekolah ini terutama dimaksudkan untuk mendidik calon-calon Yesuit yang masih muda. Sepuluh akademi serupa didirikan dalam enam tahun yang menunjukkan perkembangan yang pesat dari Yesuit. Tetapi di tahun 1548 atas permintaan magistrat Messina di Sicilia, Ignatius mengirim lima orang untuk membuka sekolah bagi kaum awam maupun murid-murid Yesuit. Segera sesudahnya menjadi nyata atas permintaan berbagai penguasa, uskup, dan berbagai kota bahwa karya pelayanan ini adalah cara yang paling efektif untuk mengkoreksi korupsi dan penyelewengan diantara kaum religius dan awam, untuk menghentikan kemunduran Gereja di tengah-tengah Reformasi, dan untuk memenuhi moto Serikat Yesus, "Ad Maiorem Dei Gloriam," artinya, demi kemuliaan yang lebih besar bagi Allah.

Ignatius menyebutkan hal ini dalam suratnya kepada father Araoz: "Kebaikan yang lebih universal adalah kebaikan yang lebih Ilahi. Oleh karena itu sebaiknya berikan preferensi kepada orang-orang dan tempat-tempat yang melalui pertumbuhannya, menjadi sumber penyebaran kepada orang-orang lain yang mencari bimbingan daripadanya. Atas alasan yang sama, preferensi sebaiknya diberikan kepada universitas-universitas yang pada umumnya dihadiri oleh sejumlah besar orang yang mendapat pertolongan daripadanya dan pada gilirannya bisa menjadi pekerja untuk menolong yang lain-lainnya."

Ini sesuai dengan salah satu prinsip utama Ignatius dalam memilih kerasulan: segala hal sifatnya setara, pilih diantara kerasulan tersebut yang akan mempengaruhi mereka yang paling berpengaruh terhadap orang lain. Mungkin pernyataan yang terbaik dari ide ini adalah surat yang ditulisnya tentang pendirian sebuah universitas di bulan Desember 1551: Dari antara mereka yang sekarang ini cuma sebagai murid, pada waktunya sebagian akan memegang berbagai peran, seseorang untuk mewartakan iman dan membimbing jiwa-jiwa, yang lainnya kepada bidang pemerintahan dan kehakiman, yang lain-lainnya kepada panggilan-panggilan lainnya. Akhirnya, karena anak-anak muda akan menjadi pria dewasa, pendidikan yang baik dalam doktrin iman dan kehidupan mereka, akan bermanfaat bagi banyak orang lainnya, dengan buahnya terus tumbuh lebat setiap harinya. Sejak saat itu, Ignatius membantu mendirikan sekolah-sekolah Yesuit dan universitas-universitas di seluruh Eropa dan dunia.

Ignatius sebagai Seorang Manusia

Mungkin benar gambaran tentang Ignatius yang dimiliki orang-orang yaitu sebagai seorang prajurit: kokoh, bersemangat baja, praktis, kurang menunjukkan emosi - jelas bukan suatu karakter yang menarik dan hangat. Akan tetapi jika ini adalah gambaran yang tepat, sulit untuk dicerna bahwa dia bisa memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap mereka yang mengenalnya. Luis Goncalves de Camara, salah satu sahabatnya yang terdekat menulis: "Dia (Ignatius) selalu cenderung kepada kasih; bahkan, dia seluruhnya adalah kasih, dan karena itu dia secara universal dikasihi oleh semua orang. Tidak seorangpun dalam Serikat Yesus yang tidak memiliki kasih yang besar terhadapnya dan tidak menganggap dirinya juga sama dikasihi olehnya."

Kadangkala dia menangis keras pada waktu Misa Kudus sehingga dia tidak dapat meneruskan, bahkan tidak dapat berbicara untuk beberapa waktu, dan dia khawatir bahwa karunia airmatanya bisa membuatnya kehilangan penglihatannya. Goncalves de Camara mengatakan, "Kalau dia tidak menangis tiga kali selama Misa Kudus, dia menganggap dirinya kehilangan rasa penghiburan." Kita menganggap banyak orang kudus sebagai mistik yang agung, tetapi tidak pernah berpikir bahwa Ignatius adalah salah satu diantaranya. Kita telah menyebutkan sedikit dari banyak penglihatan dan pengalaman mistik yang dialami selama hidupnya. Akan tetapi, kekudusannya tidak didasarkan atas hal demikian, melainkan dalam kasih yang besar yang mengarahkan jalan hidupnya untuk melakukan segala hal AMDG, untuk kemuliaan yang lebih besar bagi Allah.

Saat-saat Ajal

Sejak masih sebagai pelajar di Paris, Ignatius telah menderita berbagai penyakit pencernaan dan keadaan ini memburuk setelah ia pindah ke Roma. Pada musim panas 1556 kesehatannya memburuk, tetapi dokter yang merawatnya berpendapat dia bisa selamat seperti sebelum-sebelumnya. Akan tetapi Ignatius merasa ajalnya sudah dekat. Pada sore hari tanggal 30 Juli, dia meminta father Polanco untuk pergi menemui Sri Paus dan meminta berkat darinya bagi Ignatius, dan menyiratkan kepada father Polanco bahwa ia menjelang ajal. Akan tetapi father Polanco lebih percaya pada kata-kata dokter daripada Ignatius dan menjawab bahwa ia harus menulis banyak surat dan mengirimkannya pada hari itu. Dia akan pergi meminta berkat Sri Paus besok harinya. Meskipun Ignatius menyatakan bahwa dia lebih suka kalau father Polanco pergi sore itu namun dia tidak memaksakan. Segera setelah lewat tengah malam, keadaan Ignatius memburuk. Father Polanco bergegas ke Vatikan untuk meminta berkat Sri Paus, tetapi sayang sudah terlambat. Mantan ksatria duniawi yang telah terlibat dalam medan peperangan yang berbeda itu, telah menyerahkan nyawanya ke tangan Tuhan. Ignatius dibeatifikasi pada tanggal 27 Juli 1609 dan dikanonisasi oleh Paus Gregorius XV pada tanggal 12 Maret 1622, bersama-sama dengan Santo Franciscus Xaverius. Pesta peringatan Santo Ignatius dirayakan oleh Gereja secara universal pada tanggal 31 Juli, yaitu pada hari wafatnya.

Menghirup Udara Katolik by Yulius Eka Agung Seputra,ST,MSi

Saya dan istri dibesarkan sebagai Protestan Evangelikal, dan jika anda memberitahu kami setahun yang lalu bahwa kami akan menjadi Katolik sekarang, kami pasti akan tertawa. Menjadi Katolik bukan merupakan prospek yang kami sukai. Ketika kami pertama kali mulai dipengaruhi secara positif menyangkut hal-hal Katolik, perasaan kami bisa digambarkan sebagai berikut: "Kami telah bertemu sang musuh, dan ialah diri kami sendiri."

Saya menyesal harus menggambarkan hubungan antara kelompok Protestan Evangelikal tertentu dan Gereja Katolik dalam bahasa yang bermusuhan, tetapi demikianlah adanya ketika kami dibesarkan. Kami diajarkan bahwa Gereja Katolik telah merampas kedudukan Alkitab dengan menambahkan lapisan demi lapisan "tradisi manusia" terhadapnya dan bahwa Gereja Katolik menipu berjuta-juta orang dengan mengajarkan mereka bahwa mereka diselamatkan oleh perbuatan baik. Kami adalah Protestan yang setia. Tetapi sekarang, oleh rahmat Tuhan, kami telah melihat bahwa hanya dalam Gereja Katolik ada keutuhan iman Kristiani.

Perjalanan spiritual saya menuju iman Katolik dimulai ketika selesai dari akademi, saya masuk sebuah seminari Protestan Evangelikal yang ternama: Trinity Evangelical Divinity School. Seminari ini sangat terkenal di kalangan Evangelikal karena komitmennya kepada Alkitab sebagai satu-satunya otoritas bagi iman dan praktek Kristiani. Baik pengajar maupun mahasiswa/i-nya dengan keras dan tegas membela otoritas, inspirasi, dan kebenaran Alkitab. Hal ini tidak dilakukan secara tidak intelektual seperti gaya kaum "Fundamentalis". Kami mempelajari bahasa Yunani dan Ibrani, metode eksegesis dan prinsip-prinsip hermenetik (metode penafsiran Alkitab), sejarah dan teologi. Kami membaca karya-karya para teologis liberal dan belajar untuk berdebat dengan mereka dengan memakai argumentasi-argumentasi mereka. Pendeknya, kami menganggap urusan Alkitab suatu urusan yang sangat serius. Sungguh suatu lingkungan yang memberi dorongan bagi kami untuk menggunakan daya pikir kami sendiri dan memformulasikan posisi-posisi teologis yang punya dasar kuat dengan bukti-bukti objektif yang tersedia dalam Alkitab.

Yang menarik adalah bahwa kami tidak pernah membaca tulisan-tulisan para Bapa Gereja Perdana, dan juga termasuk teolog Katolik manapun kecuali Santo Agustinus (karena dia dianggap sebagai semacam pendahulu Calvinisme) dan Santo Thomas Aquinas (karena dampak tulisannya terhadap pemikiran Kristen sangat menonjol sehingga sulit untuk diabaikan). Pada umumnya kami melompat dari jaman para Rasul langsung ke jaman reformasi Protestan, sehingga pengalaman saya terhadap ide-ide Katolik sungguh nyaris tidak ada sama sekali. Akan tetapi ada dua hal yang sangat mempengaruhi pemikiran saya terhadap Katolikisme, meskipun saya tidak menyadarinya pada waktu itu.

Pertama, ketika saya bersusah payah dengan Alkitab dan mempelajarinya dengan mendetail, saya mulai menyadari bahwa Alkitab tidak mendukung teologi seperti yang telah diajarkan kepada saya. Saya merubah posisi dari ajaran pre-milenialisme ke amilenialisme. Saya tidak lagi percaya pada kepercayaan Protestan yang umum seperti jaminan keselamatan mutlak bagi umat Kristen. Saya tidak lagi percaya pada doktrin Sola Fide (bahwa kita dibenarkan oleh iman saja), yaitu salah satu pilar Reformasi. Dan saya mulai memegang pandangan sakramental terhadap pembaptisan dan Perjamuan Kudus.

Saya merasa salah tempat secara teologis karena tidak ada satupun denominasi Protestan yang punya pandangan-pandangan yang sama seperti yang saya punyai, dan hal ini sangat mengganggu pikiran saya. Beberapa profesor saya meyakinkan saya bahwa sepanjang pandangan saya masih serasi dengan Alkitab dan masih termasuk dalam garis besar kepercayaan Kristen yang "ortodoks". Tetapi pendekatan yang netral terhadap doktrin Kristiani semacam ini membuat saya khawatir, apa dasar persatuan Kristen jika seseorang bisa memformulasikan doktrin-doktrin sesuai kepentingan dirinya sendiri? Bukankah karena hal inilah maka Protestanisme telah terpecah-belah dan terus terpecah sepanjang jaman?

Meskipun saya tidak merasa terpanggil untuk memulai suatu denominasi saya sendiri, saya juga tidak merasa nyaman secara teologis dalam denominasi-denominasi manapun yang ada. Saya memutuskan untuk menyimpan beberapa pandangan pribadi dalam hati, karena saya khawatir reaksi yang bisa timbul dari orang lain. Kekacauan menyangkut penafsiran Alkitab diantara umat Protestan membuat saya bertanya - setidaknya secara setengah sadar - apakah komitmen terhadap inspirasi dan otoritas Alkitab sungguh-sungguh bisa merupakan suatu faktor yang mempersatukan seperti yang dipercaya oleh kaum Evangelikal.

Faktor kedua yang merubah pemikiran saya adalah pengalaman dengan pandangan yang tidak ortodoks yang dipromosikan baik oleh pihak teolog-teolog Protestan yang liberal maupun kelompok-kelompok konservatif. Pendukung-pendukung pandangan ini menengok pada Alkitab untuk mendukung pendapat-pendapat mereka, tetapi banyak dari doktrin-doktrin mereka adalah hasil kreasi sendiri, bahwa doktrin-doktrin ini tidak pernah dipercaya oleh siapapun sepanjang sejarah Gereja.

Secara insting saya tahu bahwa ide-ide ini tidak ortodoks, bahkan banyak diantaranya jelas-jelas bertentangan dengan kredo-kredo (syahadat iman) yang dipegang oleh Gereja. Lantas apa yang menjadi standard ortodoksi bagi saya, Alkitab atau syahadat iman? Kalau saya condong kepada syahadat iman atau "iman Gereja yang universal" untuk menyatakan bahwa suatu doktrin tidak ortodoks, lantas bukankah saya menuruti sesuatu selain Alkitab saja? Ini menimbulkan suatu pertanyaan yang tidak bisa saya jawab: Apakah ortodoksi itu sebenarnya? Apa yang menjadi standar ortodoksi Kristen?

Saya mulai meragukan bahwa pasti tidak hanya Alkitab saja, karena tidak seorangpun dari kami setuju akan apa yang dikatakan oleh Alkitab. Segala pendekatan Alkitabiah bisa dilawan dengan suatu interpretasi yang berbeda atau malahan penolakan sama sekali terhadap otoritas Alkitab. Saya semakin condong kepada syahadat-syahadat dan kepada "iman universal Gereja" yang rada tidak jelas, untuk meyakinkan diri saya sendiri bahwa apa yang saya percaya sifatnya ortodoks.

Saya tidak mengetahuinya pada saat itu, tetapi istri saya, Lorene, ternyata juga sedang dipersiapkan bagi perjalanan spiritual kami menuju Gereja Katolik. Sewaktu di akademi dia mengikuti kebaktian di gereja Reformed Baptist. Hal ini membawanya kepada pemahaman yang sakramental terhadap Perjamuan Kudus dan pada gilirannya dia mempengaruhi saya dengan doktrin ini.

Salah satu saudara perempuannya - yang suaminya dibesarkan secara Katolik - kadangkala menunjuk kepada kekacauan diantara kaum Protestan dan melontarkan pertanyaan bahwa bagaimana mereka semua bisa mengaku memiliki doktrin Kristen yang benar, tetapi berbeda pendapat dalam sekian banyak isyu. Istri saya tidak mampu menjawabnya dan menurutnya tidak ada jawabannya. Dia berpegang pada ide bahwa seseorang minta petunjuk Roh Kudus jika hendak membaca Alkitab. Ini jawaban yang rasanya tidak memuaskan tetapi hanya itulah yang bisa dia katakan.

Kira-kira dua tahun yang lalu saya ada di pasar-murah milik Salvation Army (=Bala Keselamatan) dan melihat-lihat buku bekas. Saya menemukan buku Katolikisme dan Fundamentalisme karangan Karl Keating dan membolak-balik halaman-halamannya karena rasa ingin tahu. Harganya cuma satu dollar, tapi nyaris saja saya taruh kembali karena bagaimanapun ini buku tentang teologi Katolik. Tetapi, saya berkata kepada diri saya sendiri, judul pasal-pasalnya sungguh menarik, dan rasanya tidak berbahaya untuk mengetahui apa pandangan Katolik tentang hal-hal ini.

Saya membeli buku tersebut dan mulai membacanya pada waktu menumpang kereta di pagi hari menuju ke arah Chicago. Saya berusaha membacanya secara simpatik dan mengakui bahwa kalau saya melihat dari sudut pandang Katolik - terutama menyangkut pandangan Katolik terhadap Alkitab - maka lantas teologi Katolik tampak koheren dan masuk akal. Buku tersebut menjernihkan salah persepsi saya terhadap apa yang sesungguhnya dipercaya oleh iman Katolik.

Saya menceritakan hasil observasi saya kepada istri saya. Ini suatu kesalahan langkah. Kami langsung terlibat dalam suatu perdebatan di kereta. "Kamu tidak akan masuk Katolik, khan?" dia langsung menyemprot saya. Dia memberitahu saya sesudahnya bahwa pikirannya dipenuhi dengan, "Bagaimana saya bisa menjelaskan kepada keluarga saya tentang hal ini? Saya menikahi seminarian Protestan dan dia malah masuk Katolik!" Saya mengambil langkah mundur dan mengatakan kepadanya bahwa saya cuma bilang kalau... dan seluruh topik tersebut untuk sementara tidak kami ungkit-ungkit lagi.

Akan tetapi rasa hormat saya terhadap iman Katolik terus tumbuh. Saya sungguh mengagumi Sri Paus Yohanes Paulus II - posisinya yang tegas terhadap imoralitas, dan penolakannya untuk melunakkan pesan-pesannya kepada presiden Amerika Serikat dan kepada warga Amerika Serikat, dan panggilannya terhadap kaum muda Amerika untuk kembali kepada iman Kristen sungguh memukau saya. Saya membaca buku karangan Charles Colson yang berjudul The Body dan terkesan oleh peran yang dimainkan oleh Gereja Katolik dan Ortodoks dalam meruntuhkan komunisme. Saya melihat umat Katolik mengambil langkah-langkah dan memenuhi begitu banyak kebutuhan fisik dalam nama Kristus. Sudah lama saya kecewa dengan gereja-gereja Evangelikal kami karena karena banyak mengkritik problem-problem sosial tetapi tidak berbuat banyak untuk mengatasinya. Saya melihat umat Katolik di kota kami mempraktekan iman mereka - memberi makan kepada orang miskin, memberikan tumpangan bagi kaum gelandangan, merawat wanita-wanita yang hamil tanpa nikah dan anak-anak mereka.

Pada bulan Mei 1993, karena pernyataan-pernyataan pro-Katolik yang saya lontarkan pada suatu kegiatan Bible-study, sepasang suami istri yang kami kenal dari gereja Baptist yang sama, memberitahukan kami bahwa mereka sedang menyelidiki iman Katolik. Dave juga lulus dari seminari yang sama dengan saya, sehingga kami mempunyai latar belakang teologis yang sama. Kami berbincang-bincang selama seharian tentang hal-hal menarik yang kami temukan tentang Gereja Katolik. Ujung-ujungnya, saya meminjamkan buku karangan Karl Keating yang saya beli kepadanya sedangkan Dave meminjamkan saya sejumlah kaset rekaman temu-wicara oleh Scott Hahn, seorang mantan pendeta Presbiterian yang telah menjadi Katolik. Saya sangat menikmati kaset rekaman tersebut, tetapi pada saat itu saya tidak sepenuhnya terpengaruh oleh argumen-argumen Scott Hahn (baru nantinya saya menyadari betapa besar pengaruhnya terhadap saya).

Tidak banyak hal yang terjadi, agaknya, sampai bulan September, ketika Dave mengembalikan buku saya. Dia menceritakan bahwa dia telah mengundurkan diri dari dewan deakon di gereja kami dan bahwa dia beserta keluarganya mulai menghadiri Misa Kudus. Kami terkejut, tetapi penuh rasa ingin tahu. Saya melihat Dave sebagai idola spiritiual. Dia adalah seorang yang punya integritas, dan saya tahu bahwa Dave tidak akan main-main dalam hal semacam ini. Lorene dan saya tahu bahwa berita tentang Dave tidak akan diterima dengan baik di gereja Baptis kami, dan kami telah memutuskan untuk tetap menjaga persahabatan dan mendukung keputusan Dave dan istrinya .

Kami mengundang mereka beberapa minggu sesudahnya untuk berbincang-bincang. Kami hanya melontarkan sejumlah pertanyaan-pertanyaan, dan tidak berusaha untuk membuat mereka membatalkan keputusannya untuk menjadi Katolik, tetapi untuk mengetahui apa yang telah mendorong mereka membuat keputusan tersebut. Makin banyak kami berdiskusi kami makin penuh semangat. Satu demi satu doktrin-doktrin Katolik tampak berlandaskan Alkitab, logis, dan konsisten. Bahkan agaknya malah meliputi seluruh Alkitab, termasuk ayat-ayat yang sulit ditafsirkan, dan tidak memfokuskan diri terhadap sejumlah pilihan ayat-ayat tertentu. untuk mendukung suatu posisi. Tampaknya dari kerangka pemikiran Katolik, banyak dari ayat-ayat sulit tersebut tidak lagi menjadi suatu masalah.

Kami menemukan bahwa kami sungguh-sungguh telah salah persepsi terhadap umumnya ajaran iman Katolik yang sesungguhnya, dan selalu ada jawaban yang bagus terhadap pertanyaan-pertanyaan yang kami miliki. Sahabat kami tersebut tinggal sampai tengah malam dan ketika mereka pulang, saya dan istri merasa seperti murid-murid Yesus dalam kisah perjalanan ke Emmaus. Telinga kami serasa terbakar oleh pengetahuan yang baru kami dapat. Akhir pekan itu tidak seorangpun dari kami bisa menyingkirkannya dari benak pikiran kami, kami bahkan nyaris tidak dapat tidur.

Istri saya membuat saya terheran-heran karena dia mulai bicara tentang kepastian kami untuk menjadi Katolik. Saya begitu shock karena tidak menyangka dia begitu terdorong menuju Katolik. Tetapi sekali dia mengerti prinsip-prinsip dasar tentang otoritas Sri Paus, peran Magisterium Gereja, dan peran Tradisi dalam doktrin Kristen, dia mengerti bahwa sisanya tinggal mengikuti saja. Saya sendiri belum sampai kesana. Saya punya banyak pertanyaan, meskipun saya harus mengakui bahwa dalam hati saya ingin semuanya benar.

Kami memulai eksplorasi yang serius terhadap iman yang baru ini. Sebagai hasil penyelidikan ini, saya menemukan bahwa dalam semua area teologis dimana saya berubah pandangan, saya ternyata telah atau sedang menuju ke arah doktrin Katolik yang ortodoks. Saya menjadi yakin bahwa umumnya "pengetahuan" saya akan iman Katolik setidak-tidaknya telah disalah-tampilkan atau malah jelas-jelas salah.

Di masa lalu, kalaupun saya tergerak untuk membaca tentang Katolik, saya selalu membaca dari sumber-sumber Protestan. Ini cenderung untuk memburuk-burukan iman Katolik dan seringkali, sengaja atau tidak sengaja, telah memberi penerangan yang salah tentang apa yang sesungguhnya diajarkan oleh Gereja Katolik. Dengan membaca dari sumber-sumber Katolik tentang doktrin Katolik dan bukti-bukti yang mendukungnya sungguh merupakan suatu penglaman yang membuka mata hati saya dan suatu tantangan. Saya dipaksa untuk mempertimbangkan kembali hal-hal yang tadinya saya terima mentah-mentah.

Melalui penyelidikan ini saya melihat bahwa meskipun reformasi Protestan disebut-sebut sebagai kembali kepada "Alkitab saja" dibanding dengan "tradisi-tradisi" Katolik, sesungguhnya paham-paham teologis yang terutama dari Reformasi Protestan sama sekali tidak punya dukungan dari Alkitab. Kaum Reformer memisahkan diri dengan Gereja Katolik pada dasarnya atas tiga doktrin: pembenaran oleh iman saja, Sola Scriptura atau bahwa Alkitab adalah satu-satunya otoritas, dan penyangkalan terhadap doktrin transubstansiasi.

Sewaktu masih di seminari saya telah meninggalkan doktrin Sola Fide - bahwa kita dibenarkan hanya oleh iman saja - karena bertentangan dengan Alkitab (lihat Yakobus 2:21-26, Roma 2:6-13, Galatia 5:6, Matius 12:36-37). Poin selanjutnya bagi saya adalah sewaktu saya mulai percaya pada Kehadiran Sejati Kristus dalam Ekaristi. Saya sudah melihat Perjamuan Kudus sebagai suatu sakramen, tetapi sekarang saya melihat bahwa Alkitab bahkan mengajarkan lebih jauh lagi, bahwa roti dan anggur sungguh-sungguh menjadi tubuh dan darah Tuhan Yesus. Bahkan yang lebih mencengangkan buat saya adalah fakta bahwa ini merupakan pandangan ortodoks Gereja selama 1500 tahun sebelum para reformer Protestan datang dan meyakinkan umat Kristen dari aliran kami (Calvinis) bahwa tidak demikian adanya. Bahwa apa yang telah dipercaya oleh Gereja sepanjang berabad-abad dan dipegang sebagai misteri iman yang terbesar, sesungguhnya bukan misteri sama sekali, tetapi cuma sekedar perayaan ulang.

Saya membaca tulisan-tulisan para Bapa Gereja yang paling terdahulu - Ignatius, Justin Martir, Irenaeus, Tertullian, Hippolytus, Agustinus - dan menemukan bahwa mereka semua percaya pada Kehadiran Sejati. Saya tidak lagi bisa memegang pernyataan aliran Protestan kami yang mengatakan bahwa berjuta-juta umat Kristen termasuk beberapa yang mengenal para Rasul secara pribadi, telah disesatkan oleh Roh Kudus sampai Calvin dan Zwingli datang dan membawa kebenaran. Meskipun para Reformer ini sendiri tidak bisa setuju satu sama lain apa arti Perjamuan Kudus, mereka semua memaksakan bahwa Gereja Katolik pasti salah!

Pijakan terakhir saya sebagai seorang Protestan adalah ketika Sola Scriptura - doktrin yang menyatakan bahwa Alkitab sebagai satu-satunya otoritas dalam hal iman - runtuh berkeping-keping. Saya telah membaca dari buku Karl Keating dan mendengar rekaman Scott Hahn bahwa doktrin tersebut tidak diajarkan dalam Alkitab, dan bahwasanya Alkitab tidak pernah mengaku sebagai satu-satunya sumber yang otoritatif terhadap iman kita. Banyak ayat-ayat menunjukkan bahwa tradisi-tradisi dari para rasul, apakah tertulis ataupun lisan, memiliki kuasa dan bahwa umat Kristen harus percaya dan mengikutinya (lihat terutama ayat 1 Korintus 11:2, 1 Tesalonika 2:13, 2 Tesalonika 2:15, 2 Timotius 2:2, 2 Petrus 3:1-3).

Gereja Katolik mengajarkan bahwa Gereja adalah pemelihara deposit iman seperti yang diwahyukan oleh Tuhan kepada para Rasul. Demikian juga Paulus, ketika dia menyebut Gereja (dan bukannya Alkitab) sebagai "pillar dan pondasi kebenaran" (1 Timotius 3:15). Sebelumnya saya selalu mengabaikan argumen ini meskipun saya tidak dapat menjawabnya. (saya terpikir tentang 2 Timotius 3:16 tetapi ayat ini hanya mengatakan bahwa Alkitab bermanfaat bagi koreksi, latihan, dan lain-lain , tetapi ini tidak sama dengan mengatakan bahwa Alkitab adalah satu-satunya sumber bagi hal ini).

Di suatu petang, konsekuensi dari fakta-fakta ini kena telak. Fondasi dari Protestanisme telah disapu bersih. Kita kaum Protestan bersikeras bahwa segala doktrin kita harus punya dasar di Alkitab, tetapi doktrin Sola Scriptura itu sendiri tidak dapat ditemukan dalam Alkitab. Lantas saya menyadari bahwa posisi Protestan sungguh didasarkan atas inkoherensi logis.

Setelah saya menjadi yakin bahwa pendapat para Reformer ternyata salah semua di tiga hal diatas, maka tiada lagi dukungan yang tersisa bagi Reformasi sama sekali. Meskipun rasanya semua orang setuju, apakah Katolik atau Protestan, bahwa Gereja Katolik perlu reformasi selama jaman Luther (bahkan para Paus juga setuju), sulit bagi saya untuk percaya bahwa bisa dibenarkan untuk mereformasi Gereja dengan cara memecah-belahnya menjadi ribuan kelompok-kelompoik yang semuanya mengaku memegang doktrin yang benar tetapi menginterpretasikan Alkitab secara berbeda dan jarang sekali bekerja sama satu sama lain. Perpecahan dan perselisihan yang terus menerus terjadi, skisma demi skisma, yang merupakan sifat-sifat Protestanisme, sungguh sulit untuk dibenarkan dan jelas-jelas bertentangan dengan Alkitab (Yohanes 10:16, 17:20-23, dan 1 Korintus 1-3).

Setelah melampaui semua hal ini dan banyak isu-isu lainnya, saya dan istri merasa hanya tinggal dua pilihan yang tersisa: turun jadi seorang agnostik rasionalistik atau naik menyongsong iman Kristen yang utuh dalam Gereja Katolik. Ini bukan suatu pilihan sama sekali, sebab kami sangat mengasihi Yesus dan tidak akan pernah menjadi seorang agnostik (tidak peduli akan Tuhan). Kami diterima ke dalam Gereja Katolik dan menerima sakramen penguatan pada tanggal 8 Februari 1994. Kami sungguh berbahagia menjadi Katolik, meskipun transisi - terutama hal memberitahu kawan-kawan dan keluarga tentang keputusan kami - sungguh sulit.

Karena lingkungan Gereja Katolik berbeda dengan Protestan Evangelikal, kami masih dalam proses adaptasi, tapi saya merasa seperti Kardinal Newman, yang setelah bergabung dengan Gereja Katolik, beliau berkata bahwa dia merasa seperti kapal yang akhirnya berlabuh di pelabuhan. Kami tidak lagi harus "terombang-ambing oleh rupa-rupa angin pengajaran" (Efesus 4:14). Kami tidak lagi harus melanglang buana untuk meyakini bahwa apa yang kami percaya adalah ortodoks.

Sekelompok imam dan awam Katolik memberikan dukungan moral bagi kami dan telah memberikan pelayanan kasih Kristus melalui doa-doa dan dukungan mereka selama peziarahan kami kedalam Gereja Katolik. Perjalanan spiritual kami telah membawa kesempatan-kesempatan baru bagi kami dalam hal ibadah Kristen dalam liturgi, kekayaan sakramen yang luar biasa, dan kekayaan spiritualisme Katolik yang tak terbatas. Semua hal ini meyakinkan kami bahwa kami telah pulang ke rumah.

Perjalanan Larry dan Joetta Lewis - yulius eka agung seputra

Ayah saya adalah pastor gereja Assemblies of God (=Sidang Jemaat Allah). Kedua orang tua saya memiliki cinta yang mendalam dan taat kepada Yesus Kristus. Hidup mereka menyatakan siapakah Kristus itu.

Saya dengan jelas mengingat terbangun di tengah malam oleh suara doa mereka. Berdoa bagi setiap orang di gereja mereka. Meskipun kedua orang tua saya tidak pernah berkata-kata dengan nada merendahkan kepada siapapun, termasuk umat Katolik, banyak dari para pendeta yang saya temui tidak begitu murah hati. Saya pernah mendengar lebih dari satu penginjil yang menjabarkan secara terperinci tentang kesesatan-kesesatan iman Katolik. Bagi mereka umumnya, sudah ada kesepakatan bahwa Gereja Katolik adalah "pelacur Babel" dan Sri Paus adalah "sang Anti-Kristus".

Saya waktu itu berusia tigapuluhtahunan dan menjabat sebagai pendeta gereja Metodis ketika saya bertemu pertama kalinya dengan seorang biarawati Katolik, yaitu suster Monica Marie. Joetta mengajar bersama-sama dengannya di Ursuline Academy di Dallas, Texas. Melalui suster Monica Marie, Joetta mengalami pengalaman yang dinamis dengan Roh Kudus. Dengan keheranan saya menemukan bahwa suster ternyata sungguh-sungguh wanita yang mengenal Tuhan. Hati saya merasa hangat hanya karena kehadirannya. Dia sungguh-sungguh bertolak belakang dengan gambaran seorang biarawati dalam benak pikiran saya.

Kontak pertama saya dengan seorang imam hanya dua tahun yang lalu saja. Ketika menekuni program doktoral di Oral Robert University, saya bertemu dengan Romo Amalor Vima dari India. Sebagai kawan sekelas kami menghabiskan banyak waktu bersama-sama dan menjadi kawan akrab. Dalam lingkungan inilah terjadi sesuatu yang akan merubah hidup saya selamanya. Selama saat renungan dalam satu dari acara-acara kami, Selmar Quayo, seorang uskup Metodis dari Brazilia, berdiri dan berkata: "Di negara saya, sebagai seorang Protestan, saya adalah minoritas. Sayangnya, ada banyak rasa permusuhan antara gereja kami dan Gereja Katolik. Banyak dari jemaat kami dipenuhi dengan rasa sakit hati terhadap semua umat Katolik. Akan tetapi disini, Romo Vima adalah minoritas dan saya tidak melihat sesuatupun dari hidupnya kecuali kasih terhadap Yesus Kristus." Dengan air mata bercucuran di wajahnya dia berkata, "Romo Vima, saya ingin anda memaafkan saya."

Saya menyaksikan ketika kedua pemimpin umat Allah ini berpelukan. Tidak ada mata yang tidak basah oleh air mata di ruangan itu. Dalam saat yang singkat tersebut pikiran saya mulai membayangkan suatu kemungkinan baru - Protestan dan Katolik di seluruh dunia bersatu, saling menyongsong dalam kasih, dan berlutut dalam doa.

Dalam tindakan yang sederhana ini Selmar Quayo telah menantang kami semua untuk menjadi pelayan rekonsiliasi. Pikiran saya berputar-putar. "Bayangkan apa yang Roh Kudus dapat lakukan jika Katolik dan Protestan sungguh-sungguh satu. "Firman Yesus melintasi pikiran saya, "Jika engkau mempersembahkan kurban di altar dan teringat bahwa ada sesuatu dalam hati saudaramu terhadap engkau, tinggalkanlah persembahanmu di depan altar dan pergilah dahulu berdamai dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu" (Matius 5:23-24). Sewaktu saya menyaksikan adegan tersebut terjadi saya nyaris dapat mendengar Yesus berdoa, "Semoga mereka semua menjadi satu, Bapa . . . supaya dunia percaya bahwa Engkau mengutus Aku" (Yohanes 17:21). Saya menyadari pada saat itu bahwa saya harus menjadi pelayan rekonsiliasi.

Bertahun-tahun sebelumnya, Joetta dan saya telah melakukan pelayanan di suatu gereja Southern Baptist di Tulsa, Oklahoma. Setelah kebaktian, seorang wanita mendekati Joetta dan bertanya kepadanya jika ia mau mendoakan Regan, nama anak perempuan wanita tersebut. Akan tetapi dia tidak ingin menjelaskan latar belakang keinginan tersebut. Joetta meyakinkannya bahwa dia tidak perlu mengetahui apa keperluan doa tersebut karena Roh Kudus akan memerantarai bagi Regan. Sampai setahun berikutnya, Joetta berdoa dengan setia bagi sang wanita muda yang belum pernah ditemuinya.

Pada saat itu Joetta bekerja sebagai seorang Technical Writer bagi perusahaan jasa penyewaan mobil Thrifty Rent-A-Car. Suatu hari atasannya memberitahukan bahwa mereka telah menerima seorang Software Trainer baru dan mejanya akan berseberangan dengan meja Joetta. Mereka meminta Joetta untuk membuat sang karyawati merasa akrab dan untuk membawanya keliling kantor mereka. Ketika sang karyawati baru tiba, dia memperkenalkan dirinya sebagai Regan. Dengan rasa terkejut, Joetta melihat seorang wanita muda dihadapannya yang telah didoakannya selama berbulan-bulan! Tuhan pasti punya maksud tertentu. Joetta dan Regan bekerja sama selama tujuh tahun berikutnya. Meskipun mereka tidak pernah bersosialisasi diluar kantor, mereka mulai membangun hubungan yang sangat akrab.

Suatu ketika di tahun 1995, Regan menceritakan bahwa dia dan suaminya sedang mengalami masalah dalam perkawinan mereka. Kelvin adalah seorang Katolik sedangkan dia dari gereja Southern Baptist. Selama bertahun-tahun, Regan kadangkala menghadiri Misa di gereja Katolik bersama Kelvin dan meskipun Kelvin tidak merasa nyaman di gereja Baptis, dia ikut menghadiri kebaktian bersama Regan dalam acara-acara khusus. Kompromi ini terus berjalan, sampai mereka mempunyai anak-anak dan menyadari betapa masing-masing punya perasaan kuat untuk mendidik anak-anak dalam iman masing-masing. Regan merasa kesal dan kecewa karena Kelvin bersikeras untuk membaptis dan membesarkan anak-anak mereka dalam Gereja Katolik. Mereka sedang menghadapi jalan buntu ketika Regan datang menemui Joetta untuk meminta nasihat.

Joeta mengatakan kepada Regan bahwa sebuah rumah yang terpecah tidak dapat bertahan, dan bahwa penting kiranya bahwa mereka berada dalam suatu gereja bersama-sama. Joetta menyarankan bahwa, jika suami Regan tidak mau ke gereja Protestan bersamanya, maka Regan harus pergi ke gereja Katolik bersama suaminya. Tuhan akan memberkati perkawinan mereka jika Regan mau menurut pada otoritas spiritual suaminya. Joetta memberitahukan kepada Regan tentang semacam kelas yang diberikan dalam Gereja Katolik yang bisa dihadirinya, tanpa komitmen, untuk mengenal tentang iman Katolik. Joetta mengatakan, "Jika saya jadi engkau, saya ingin mengetahui anak-anak saya akan diajarkan tentang apa saja, supaya saya bisa melawannya kalau ada terdapat ajaran yang salah." Demi ketentraman hati Regan, Joetta berkata, "Kamu pergilah menghadiri program tersebut, bawalah semua materi pelajaran kepada saya, dan saya akan berikan kepada suami saya Larry supaya dia bisa memeriksanya dan melihat jika isinya sesuai dengan Alkitab."

Saya tidak pernah memperhatikan bahan-bahan yang Regan berikan kepada Joetta kecuali dua hal. Yang pertama adalah suatu artikel surat kabar oleh seorang jurnalis Lutheran yang isinya mendiskusikan tentang penampakan-penampakan Bunda Maria. Sang pengarang artikel telah memberikan seminar di paroki Regan dan mengisahkan betapa Bunda Allah telah menampakan diri kepada enam anak-anak kecil setiap hari sejak tahun 1981. Regan merasa begitu terpesona sehingga dia membaca segala hal menyangkut kejadian tersebut yang bisa didapatnya. Hal kedua yang dia berikan kepada kami adalah sebuah kaset kesaksian oleh seorang wanita yang telah disembuhkan secara mukjijat pada tempat penampakan yang sama. Wanita ini, seorang Kristen yang tadinya paling cuma suam-suam kuku, begitu tersentuh oleh pengalaman tersebut sehingga dia membaktikan seluruh hidupnya untuk melayani Kristus. Saya mengangkat kertas tulisan ini dan bermaksud membuangnya. Akan tetapi dalam sekilas saya masukkan ke dalam laci.

Pada minggu sebelum tanggal 25 Mei 1996, Regan memberitahu Joetta bahwa dia akan pergi menghadiri Konferensi Maria di Wichita, Kansas. Dia begitu bersemangat karena baik pengarang artikel maupun wanita yang telah disembuhkan tersebut, keduanya akan tampil sebagai pembicara. Akan tetapi, Regan merasa terganggu oleh sebuah doa yang telah diterimanya dari bahan-bahan yang dikirim sebelum konferensi yang nantinya akan diucapkan dalam doa pada waktu konferensi. "Saya meminta, " dia berkata kepada Joetta, "agar engkau dan Lary mau memeriksanya dan memberikan pendapatmu." Sewaktu Joetta membaca doa tersebut, segera timbul segala macam rasa khawatir. Dalam keadaan nyaris panik dia membawa doa-doa tersebut kepada saya. Doa itu adalah doa "Konsekrasi kepada Hati Maria yang Tak Bernoda". Sewaktu saya mulai membacanya, bulu roma saya berdiri. "Hati Maria yang Tak Bernoda, aku memberikan jiwa dan ragaku . . ." saya berhenti di tengah-tengah kalimat. Rasa kemarahan memenuhi hati saya. "Ini doa iblis!" saya berkata, "kita tidak memberikan jiwa kita kepada siapapun kecuali Yesus. Katakan kepada Regan bahwa dia boleh pergi ke Konferensi Maria tetapi apapun yang dilakukannya janganlah sekali-kali mengucapkan doa ini." Dalam tiga hari berikutnya, sesuatu dalam lubuk hati saya memberitahu saya bahwa saya telah membuat suatu kesalahan besar. Penyesalan akan apa yang telah saya katakan memenuhi hati saya.

Saya memutuskan membawa fotokopi doa tersebut kepada Romo Vima. "Saya tidak mengerti tentang doa ini, " saya berkata. "Bagaimana boleh seseorang memberikan dirinya kepada Maria dengan cara seperti ini?" Dengan kilatan di matanya Romo Vima dengan lembut berkata, "Larry, pernahkah engkau memegang Joetta dalam tangannya dan berkata, 'Aku mengasihimu, Aku menyanjungmu, Aku mencium tanah yang engkau pijak'". "Ya," saya dengan hati-hati menjawab. "Pernahkah engkau memandang matanya dengan penuh kasih dan meyakinkannya akan kasih dan devosimu seutuhnya? Pernahkan engkau mengucapkan kata-kata seperti, 'Aku ini milikmu sekarang dan selamanya' 'Diriku dan segala harapan-harapanku adalah milikmu.?'" Saya mulai mengerti maksud kata-katanya. "Secara jujur, " saya mengaku, "saya telah menggunakan kata-kata seperti itu.

Romo Vima lantas melanjutkan, "Umat Katolik, tidak akan pernah berkata kepada Maria, 'kami menyembahmu.' Kami menghormatimu. Kami memujimu. Tetapi kami tidak akan pernah mengatakan 'kami menyembahmu' karena penyembahan hanya ditujukan kepada Tuhan saja. Itu adalah sesuatu yang hanya kami berikan kepada Yesus. Kami menyembah-Nya. Dia adalah Raja diraja dan Tuhan dari segala tuan, dan tidak ada seorangpun seperti-Nya. Kami percaya bahwa Maria, sebagai Bunda Allah, mengasihi dan peduli terhadap kami. Apa yang kami katakan dalam doa ini adalah, 'Segala diriku, aku letakkan dalam tanganmu dan aku memintamu untuk membawaku kepada Puteramu, Yesus.' Maria selalu menunjuk kepada Yesus."

Selama saya mendengarkan kata-kata Romo Vima, saya mulai menyadari betapa salahnya saya. Dua perasaan muncul secara bersamaan - rasa malu dan sukacita. Malu karena tuduhan saya, dan sukacita akan kemungkinan-kemungkinan yang terbuka.

Saya pulang ke rumah dan menemukan suratkabar Maria yang saya taruh di salam satu laci baju dan mulai membacanya. Sewaktu saya membawa menurut laporan apa yang dikatakan oleh Maria, saya tersengat oleh kenyataan betapa pesan-pesannya begitu sesuai dengan Alkitab - berdoa, bertobat, berpuasa, komitmen hidupmu kepada Kristus. Ini jelas bukan pekerjaan Iblis. Saya berpikir keras, "Apakah ini betul-betul Bunda Allah." Jika benar demikian, maka apa yang dia katakan sungguh penting dan perlu kita perhatikan. Salah satu dari pesan-pesannya yang sering diutarakan agak membingungkan: "Berdoalah Rosario setiap hari." Joetta dan saya sama sekali tidak tahu tentang Rosario. Mungkin sudah tiba waktunya untuk mengetahui tentang doa ini.

Sewaktu Regan hendak pergi ke konferensi Maria, Joetta memberikan sejumlah uang kepadanya untuk membeli sebuah Rosario. Hubungan persahabatan antara mereka berdua telah menjadi tegang, dan penuh emosi karena perihal Maria, dan Joetta merasa jika dia memberikan kesempatan kepada Regan untuk menunjukkan cara berdoa Rosario kepadanya, paling tidak mereka berdua tetap berdialog. Sekembalinya Regan memberikan Joetta sebuah Rosario, dia berkata, "Bagusnya orang yang membuat Rosario ini tinggal di dekat kota Tulsa, yaitu di Claremone, Oklahoma. Dia menjamin, jika ada masalah dengan Rosarionya."

Makin Joetta perhatikan Rosarionya, makin timbul rasa tidak sukanya terhadap potongan segitiga ditengahnya. "Tampaknya seperti sebuah lambang berhala. Saya akan menelpon Two Hearts Rosaries (=Rosario Dua Hati, nama pembuatnya) dan menanyakan jika mereka bisa menukarkannya dengan yang lainnya."

"Marilah datang kesini," suara di seberang sana menjawab, "karya tangan Bob dijamin, dan dia akan dengan senang hati menukarkannya dengan sesuatu yang anda sukai." Ketika kami tiba, Johanna istri Bob menanyakan Joetta tentang apa yang salah dengan Rosarionya. "Ini...segitiga kecil ditengahnya," kata Joetta, "Saya tidak suka segitiga itu." Johanna memandang Joetta dengan rasa heran, "Memangnya apanya yang tidak engkau sukai?" "Hmm...gambarnya kelihatan terlalu....Katolik!"

Johanna tersenyum, "Rosario itu....ya memang Katolik!" Sementara Joetta memperhatikan potongan segitiga tersebut, Bob sedang berbagi cerita dengan saya tentang apa yang mereka alami sewaktu berziarah di suatu tempat penampakan Maria di Eropa. Saya berteriak kepada Joetta, "Mari sini dan dengarkan cerita ini. Engkau tidak akan mempercayainya!" Mereka adalah umat Katolik betulan pertama yang pernah bercakap-cakap dengan kami, selain suster Monica Marie dan Romo Vima.

Bob mengisahkan kepada kami betapa Tuhan melalui Maria telah merubah jalan hidup mereka. Sewaktu dia menceritakan kisahnya, air mata mengalir di wajahnya. Dia mengaku bahwa dia belum berhenti menangis sejak dia kembali dari peziarahan mereka. Dalam kata-katanya sendiri, hatinya "telah luluh." Sekembalinya mereka, Bob berhenti dari pekerjaannya di Amoco, suatu perusahaan pertambangan raksasa. Dia bekerja sebagai teknisi laboratorium dan telah bekerja untuk perusahaan tersebut selama lebih dari 21 tahun! Tidak lama sesudahnya, Johanna berhenti dari pekerjaannya mengajar di Tulsa University. Tuhan telah memanggil mereka untuk patuh dan bergantung seutuhnya kepada-Nya.

Selama masa itu, Bob bertemu dengan seorang biarawati yang menunjukkan cara membuat Rosario kepadanya. Bob memutuskan untuk membuat dua Rosario: satu untuk berterima kasih kepada Maria karena membimbing mereka kepada Yesus, dan satunya lagi untuk Yesus karena menyelamatkan jiwanya. Yang lainnya tidak penting. Setiap Rosario yang dibuat oleh Bob dibuat dengan penuh kasih oleh tangannya. Dia menganggap setiap manik-manik sebagai sebuah doa yang dikirim oleh Maria untuk mentobatkan dan membawa jiwa-jiwa kepada Yesus. Pertobatan Joetta dan saya adalah hasil langsung dari doa-doa tersebut.

Setelah pertemuan kami dengan Bob dan Johanna, emosi saya sungguh terguncang. Sewaktu kami berkendara pulang tak seorangpun dari kami mengucapkan sepatah katapun. Seolah-olah kami mengalami peristiwa epifani. Saya tidak dapat menjelaskannya. Saya merasa telah mengalami kehadiran Yesus disana. Karena tidak ingin langsung pulang ke rumah, saya berhenti di restoran Taco Bueno untuk membeli minuman. Sewaktu kami berada di sana saling berpandangan air mata mulai mengalir di wajah kami. Apa yang sedang terjadi terhadap diri kami? Apa yang Tuhan minta dari kami?

Kehidupan kami rasanya seperti didorong ke arah Gereja Katolik. Sebelumnya Regan telah memperkenalkan kami kepada pemilik toko buku Katolik setempat, sehingga kami memutuskan untuk pergi kesana untuk informasi lebih lanjut. Lee dan Anita dengan ramah menyambut kami dan menunjukkan pada apa yang kami butuhkan. Ketika kami menghitung pajak pendapatan pada akhir tahun itu, kami baru menyadari bahwa kami telah menghabiskan lebih dari US$5000 untuk membeli buku-buku, kaset-kaset, video-video dan macam-macam materi lainnya dalam rangka mencari kebenaran rohani! Kami tidak pernah puas. Kami berada di toko milik Lee sampai tiga-empat kali sehari. "Kami datang kesini untuk 'pengobatan' iman Katolik." Lee dan Anita hanya tertawa berderai dan menunjukkan kami kepada buku, kaset atau video lainnya. Seperti suatu kecanduan yang tidak pernah memuaskan dahaga kami. Satu pertanyaan membawa kepada pertanyaan lainnya dan lainnya. Sungguh merupakan suatu pengalaman yang mempesonakan.

Kami mulai tidur lebih telat dan bangun lebih pagi untuk membaca sebanyak mungkin dalam satu hari. Kami memutuskan untuk memaksimalkan waktu luang kami. Saya mulai mengantarkan Joetta pergi bekerja dan menjemputnya supaya kami bisa membaca keras-keras secara bergantian. Saya menjemputnya pada jam makan siang, dan meletakkan dua kursi kebun dan meja dorong di bagasi dan berkendara ke taman kota supaya kami bisa membaca tanpa interupsi. Kami mengambil giliran - yang satu makan sedangkan yang lain membaca keras-keras. Kami melakukan segalanya bersama-sama. Tuhan sedang berbicara dengan penuh rahmat kepada kami. Membawa kami berdua secara bersamaan untuk lebih mendalami-Nya.

Kami membaca buku Katekismus Gereja Katolik dari awal hingga akhir. Buku Katekismus Gereja katolik adalah karya teologis sistematik yang paling hebat yang pernah kami baca. Jawaban-jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang telah lama kami cari-cari, bermunculan seperti curah hujan lebat.

Saya ingat suatu hari Sabtu pagi yang tertentu. Kami berdua bangun jam 4 pagi dini hari. Kami duduk di atas ranjang dengan satu tangan memegang Alkitab sedangkan yang lainnya memegang buku Katekismus Gereja Katolik. Saya akan berkata, "Joetta, dengerkan ini. Sungguh fantastis. Yang ini sungguh membawa segalanya menjadi terang!" Sebelum saya selesai, Joetta akan memotong dan berkata, "Larry, tunggu, tunggu dulu. Dengarkan ini!" Dia lantas akan membaca dari bagian lain dari buku Katekismus. Kami membaca dari ayat-ayat Alkitab yang mendukung, lau meneliti tulisan-tulisan pada Bapa Gereja Perdana dan kemudian memeriksa komentari Alkitab. Pada waktu kami tersadar, waktu sudah menunjukkan jam satu siang! Topik-topik seperti Kehadiran Sejati Kristus dalam roti dan anggur, peran Maria dalam Gereja, doa-doa kepada orang kudus, Alkitab versus Tradisi yang otoritatif versus Sola Scriptura, otoritas Sri Paus, Api Penyucian, dan Penyelamatan sebagai suatu proses versus Penyelamatan yang sudah komplit, kami mulai melihat semuanya dari sudut pandang yang baru. Seolah-olah seperti menemukan potongan teka-teki yang hilang dalam sebuah teka-teki teologis. Gambaran yang seutuhnya mulai menjadi jernih.

Tuhan Yesus membawa kami melalui dua lintasan secara berbarengan: yang satunya intelektual dan yang lainnnya emosional. Kami telah mengucapkan doa Rosario, dan "parkir" di sofa Bob dan Johanna sembari menanyakan pertanyaan demi pertanyaan tentang doktrin, tradisi dan kebiasaan Katolik. Kami meminta kepada Tuhan untuk menyatakan kepada kami kalau memang benar Dia sedang membawa kami kedalam Gereja Katolik, karena tidak satupun dari ini masuk akal bagi kami. Kami telah menghabiskan sepanjang hidup kami dalam gereja-gereja Protestan dan merasa puas dengan pelayanan kami. Kami sungguh-sungguh perlu mengetahui tentang Gereja kepada mana Tuhan sedang memanggil kami. Tiga minggu sebelum kami mengambil keputusan, saya mengucapkan doa ini. "Bapa, jika Engkau memanggil kami kedalam Gereja Katolik, saya menginginkan suatu tanda, dan saya ingin suatu tanda yang besar."

Beberapa hari setelahnya, kami sedang berkendara pulang dari suatu perjalanan singkat ke Dallas. Ditengah perjalanan kami menyaksikan matahari yang terbesar yang pernah kami saksikan. Besarnya dari horizon ke horizon, dan tampak seolah-olah kami sedang mengendara ke dalamnya. Suatu deretan warna-warni yang tidak dapat dijelaskan lewat kata-kata - oranye, merah dan dadu. Sungguh suatu hal yang luar biasa, sedemikian sehingga cucu lelaki kami yang masih kecil, yang tadinya sedang tidur di kursi belakang, duduk dan berkata, "Opa, opa lihat tidak? Indah sekali ya? Meskipun begitu cemerlangnya tetapi kami masih bisa memandangnya secara langsung.

Sewaktu matahari terbenam kami mulai menyetel kaset rekaman oleh Dr. Scott Hahn dan sembari terus melanjutkan ke arah Oklahoma City. Sewaktu saya menatap ke langit malam saya kembali berdoa dalam hati, "Ya Tuhan, jika Engkau memanggil kami ke dalam Gereja Katolik berikanlah kami sebuah tanda dan harap berikanlah suatu tanda yang besar!"

Pada saat yang bersamaan, tanpa saya ketahui, Joetta sedang menatap keluar dari jendela di sisi penumpang dan berdoa dalam hati, "Santa Maria, jika engkau sungguh-sungguh nyata, kami harus mengetahuinya melebihi segala keraguan apapun." Tiba-tiba saya mendengar Joetta ternganga dan berkata, "Ya Tuhan, Larry, Larry, lihatlah!" Sewaktu saya melihat ke sebelah kanan, saya melihat apa yang tampak seperti untaian bintang-bintang jatuh dalam gerak lambat dari sebelah kanan menurun ke sebelah kiri. Tepat sebelum bintang-bintang tersebut menyentuh horizon, mereka berganti arah dan melesat ke atas tegak lurus dan kemudian kembali berubah arah bawah menuju bumi dan jatuh tepat di tengah-tengah jalan raya. Biasanya sebuah "bintang jatuh" (=meteor) melesat ke bawah dan bergerak begitu cepat sehingga anda tidak punya waktu untuk memberitahu seseorang mengenainya. Kami berdua tidak sanggup berbicara karena kami berdua menyaksikannya! Akhirnya Joetta mengakhiri kesunyian, "Kamu lihat hal itu, bukan?" Kami berdua jelas-jelas terguncang.

Saya menyetel sebuah kaset oleh penyanyi Katolik, Dana, dimana dia menyanyikan seluruh Rosario, dan untuk selama empat setengah jam berikutnya kami berdoa Rosario bersamanya. Kami selesai tepat sewaktu kami mencapai jalanan keluar tol ke arah rumah kami. Sewaktu kami memutar di jalan tol dan mengendara naik bukit, disana, tergolek di atas jalan di depan kami, bulan-seperempat yang terbesar, terindah, dan paling terang benderang yang pernah kami lihat. Seperti juga waktu matahari terbenam, seolah-olah bulan itu duduk ditengah-tengah jalann dan menjulang tinggi ke angkasa seperti matahari yang kami lihat sebelumnya. Selama dua setengah mil (=4 km) kami menyaksikan dengan penuh keheningan.

Sewaktu kami memutar di depan garasi rumah, bulan tersebut menghilang. "Joetta, semua hal ini mengingatkan kamu terhadap apa?" "Kitab Wahyu pasal 12 !!!" dia berkata: "Suatu tanda besar muncul di langit: seorang wanita yang berselubungkan matahari, dengan bulan dibawah kedua kakinya dan suatu mahkota dari dua belas bintang di atas kepalanya." Pada saat itu kami menyadari bahwa Roh Kudus tidak hanya membawa kami ke Gereja Katolik, tetapi bahwa Maria yang menuntun di depan.

Dua bulan sesudahnya Joetta dan saya berlutut di dalam sebuah kapel di kampus University of Tulsa dan mengucapkan doa Konsekrasi kepada Hati Maria Yang tak Bernoda. Kasih kami terhadapnya tanpa batas. Tadinya saya khawatir kalau dia akan mengalihkan kasih saya kepada Yesus, tetapi apa yang saya temukan adalah kasih saya kepada Kristus telah menjadi lebih dalam melebihi takaran. Sungguh sudah melebihi takaran!

Pada tanggal 12 September 1997, saya menyerahkan surat pentahbisan saya sebagai pendeta kepada uskup Bruce Blake dari gereja United Methodist. Dengan melakukan hal itu, saya telah melepaskan pelayanan 30 tahun sebagai pendeta Protestan untuk menjadi Katolik. Bagi umumnya kolega-kolega saya, tindakan ini adalah suatu kesalahan yang besar yang mengerikan, tetapi bagi Joetta dan saya, ini adalah "pulang ke rumah."

Pada bulan Januari kami melakukan perjalanan ziarah ke Roma untuk melambangkan keinginan kami untuk meletakkan diri kami dibawah otoritas Sri Paus Yohanes Paulus II dan Gereja Katolik Roma. Pada bulan Maret ini, Joetta dan saya pergi berziarah ke Medjugorje, yaitu situs penampakan Maria di Eropa Timur untuk berterima kasih kepada Santa Maria yang membawa kami kedalam Gereja Katolik. Kami sekarang menanti-nanti dengan penuh semangat untuk diterima dalam persekutuan penuh dalam Gereja Katolik pada pesta Paskah mendatang. Ini adalah titik kulminasi dari perjalanan 23 bulan yang merubah jalan hidup kami. Terima kasih Maria karena membawa kami pulang ke rumah.

SEJARAH TERBENTUKNYA KITAB-KITAB PERJANJIAN LAMA

Alkitab Gereja Katolik terdiri dari 73 kitab, yaitu Perjanjian Lama terdiri dari 46 kitab sedangkan Perjanjian Baru terdiri dari 27 kitab. Bagaimanakah sejarahnya sehingga Alkitab terdiri dari 73 kitab, tidak lebih dan tidak kurang? Pertama, kita akan mengupas kitab-kitab Perjanjian Lama yang dibagi dalam tiga bagian utama: Hukum-hukum Taurat, Kitab nabi-nabi dan Naskah-naskah. Lima buku pertama: Kitab Kejadian, Kitab Keluaran, Kitab Imamat dan Kitab Bilangan dan Kitab Ulangan adalah intisari dan cikal-bakal seluruh kitab-kitab Perjanjian Lama. Pada suatu ketika dalam sejarah, ini adalah Kitab Suci yang dikenal oleh orang-orang Yahudi dan disebut Kitab Taurat atau Pentateuch.

Selama lebih dari 2000 tahun, nabi Musa dianggap sebagai penulis dari Kitab Taurat, oleh karena itu kitab ini sering disebut Kitab Nabi Musa dan sepanjang Alkitab ada referensi kepada "Hukum Nabi Musa". Tidak ada seorangpun yang dapat memastikan siapa yang menulis Kitab Taurat, tetapi tidak disangkal bahwa nabi Musa memegang peran yang unik dan penting dalam berbagai peristiwa-peristiwa yang terekam dalam kitab-kitab ini. Sebagai orang Katolik, kita percaya bahwa Alkitab adalah hasil inspirasi Ilahi dan karenanya identitas para manusia pengarangnya tidaklah penting.

Nabi Musa menaruh satu set kitab di dalam Tabut Perjanjian (The Ark of The Covenant) kira-kira 3300 tahun yang lalu. Lama kemudian Kitab Para Nabi dan Naskah-naskah ditambahkan kepada Kitab Taurat dan membentuk Kitab-kitab Perjanjian Lama. Kapan tepatnya isi dari Kitab-kitab Perjanjian Lama ditentukan dan dianggap sudah lengkap, tidaklah diketahui secara pasti. Yang jelas, setidaknya sejak lebih dari 100 tahun sebelum kelahiran Kristus, Kitab-kitab Perjanjian Lama sudah ada seperti umat Katolik mengenalnya sekarang.

Kitab-kitab Perjanjian Lama pada awalnya ditulis dalam bahasa Ibrani (Hebrew) bagi Israel, umat pilihan Allah. Tetapi setelah orang-orang Yahudi terusir dari tanah Palestina dan akhirnya menetap di berbagai tempat, mereka kehilangan bahasa aslinya dan mulai berbicara dalam bahasa Yunani (Greek) yang pada waktu itu merupakan bahasa internasional. Oleh karena itu menjadi penting kiranya untuk menyediakan bagi mereka, terjemahan seluruh Kitab Perjanjian Lama dalam bahasa Yunani. Pada waktu itu di Alexandria berdiam sejumlah besar orang Yahudi yang berbahasa Yunani. Selama pemerintahan Ptolemius II Philadelphus (285 - 246 SM) proyek penterjemahan dari seluruh Kitab Suci orang Yahudi ke dalam bahasa Yunani dimulai oleh 70 atau 72 ahli-kitab Yahudi - menurut tradisi - 6 orang dipilih mewakili setiap dari 12 suku bangsa Israel. Terjemahan ini diselesaikan sekitar tahun 250 - 125 SM dan disebut Septuagint, yaitu dari kata Latin yang berarti 70 (LXX), sesuai dengan jumlah penterjemah. Kitab ini sangat populer dan diakui sebagai Kitab Suci resmi (kanon Alexandria) kaum Yahudi diaspora (=terbuang), yang tinggal di wilayah Asia Kecil dan Mesir. Pada waktu itu Ibrani adalah bahasa yang nyaris mati dan orang-orang Yahudi di Palestina umumnya berbicara dalam bahasa Aram. Jadi tidak mengherankan kalau Septuagint adalah terjemahan yang digunakan oleh Yesus, para Rasul dan para penulis kitab-kitab Perjanjian Baru. Bahkan, 300 kutipan dari Kitab Perjanjian Lama yang ditemukan dalam Kitab Perjanjian Baru adalah berasal dari Septuagint. Harap diingat juga bahwa seluruh Kitab Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Yunani.

Setelah Yesus disalibkan dan wafat, para pengikut-Nya tidak menjadi punah tetapi malahan menjadi semakin kuat. Pada sekitar tahun 100 Masehi, para rabbi (imam Yahudi) berkumpul di Jamnia, Palestina, mungkin sebagai reaksi terhadap umat Kristen. Dalam konsili Jamnia ini mereka menetapkan empat kriteria untuk menentukan kanon (=standard) Kitab Suci mereka: [1] Ditulis dalam bahasa Ibrani; [2] Sesuai dengan Kitab Taurat; [3] lebih tua dari jaman Ezra (sekitar 400 SM); [4] dan ditulis di Palestina. Atas kriteria-kriteria diatas mereka mengeluarkan kanon baru untuk menolak tujuh buku dari kanon Alexandria, yaitu seperti yang tercantum dalam Septuagint, yaitu: Tobit, Yudit, Kebijaksanaan Salomo, Sirakh, Barukh, 1 Makabe, 2 Makabe, berikut tambahan-tambahan dari kitab Ester dan Daniel. (Catatan: Surat Nabi Yeremia dianggap sebagai pasal 6 dari kitab Barukh). Hal ini dilakukan atas alasan bahwa mereka tidak dapat menemukan versi Ibrani dari kitab-kitab yang ditolak diatas.

Gereja Kristen tidak menerima hasil keputusan rabbi-rabbi Yahudi ini dan tetap terus menggunakan Septuagint. Pada konsili di Hippo tahun 393 Masehi dan konsili Kartago tahun 397 Masehi, Gereja secara resmi menetapkan 46 kitab hasil dari kanon Alexandria sebagai kanon bagi Kitab-kitab Perjanjian Lama. Selama enam belas abad, kanon Alexandria diterima secara bulat oleh Gereja. Masing-masing dari tujuh kitab yang ditolak oleh konsili Jamnia, dikutip oleh para Bapa Gereja perdana (Church Fathers) sebagai kitab-kitab yang setara dengan kitab-kitab lainnya dalam Perjanjian Lama. Bapa-bapa Gereja, beberapa diantaranya disebutkan disini: St. Polycarpus, St. Irenaeus, Paus St. Clement, dan St. Cyprianus adalah para pemimpin spiritual umat Kristen yang hidup pada abad-abad pertama dan tulisan-tulisan mereka - meskipun tidak dimasukkan dalam Perjanjian Baru - menjadi bagian dari Deposit Iman. Tujuh kitab berikut dua tambahan kitab yang ditolak tersebut dikenal oleh Gereja Katolik sebagai Deuterokanonika (second-listed), atau kanon kedua. Disebut demikian karena disertakan dalam kanon Kitab Suci setelah melalui banyak perdebatan.

GEREJA KATOLIK MENDAHULUI KITAB PERJANJIAN BARU
Seperti Kitab-kitab Perjanjian Lama, Kitab-kitab Perjanjian Baru juga tidak ditulis oleh satu orang, tetapi adalah hasil karya setidaknya delapan orang. Kitab Perjanjian Baru terdiri dari 4 kitab Injil, 14 surat Rasul Paulus, 2 surat Rasul Petrus, 1 surat Rasul Yakobus, 1 surat Rasul Yudas, 3 surat Rasul Yohanes dan Wahyu Rasul Yohanes dan Kisah Para Rasul yang ditulis oleh Santo Lukas, yang juga menulis Kitab Injil yang ketiga. Sejak kitab Injil yang pertama yaitu Injil Matius sampai kitab Wahyu Yohanes, ada kira-kira memakan waktu 50 tahun. Tuhan Yesus sendiri, sejauh yang kita ketahui, tidak pernah menuliskan satu barispun dari kitab Perjanjian Baru. Dia tidak pernah memerintahkan para Rasul untuk menuliskan apapun yang diajarkan oleh-Nya. Melainkan Dia berkata: "Maka pergilah dan ajarlah segala bangsa" (Matius 28:19-20), "Barangsiapa mendengarkan kamu, ia mendengarkan Aku" (Lukas 10:16).

Apa yang Yesus perintahkan kepada mereka persis sama seperti apa yang Yesus sendiri lakukan: menyampaikan Firman Allah kepada orang-orang melalui kata-kata, meyakinkan, mengajar, dan menpertobatkan mereka dengan bertemu muka. Jadi bukan melalui sebuah buku yang mungkin bisa rusak dan hilang, dan disalah tafsirkan dan diubah-ubah isinya, melainkan melalui cara yang lebih aman dan alami dalam menyampaikan firman yaitu dari mulut ke mulut. Demikianlah para Rasul mengajar generasi seterusnya untuk melakukan hal yang serupa setelah mereka meninggal. Oleh karena itu melalui Tradisi seperti inilah Firman Allah disampaikan kepada generasi-generasi umat Kristen sebagaimana pertama kali diterima oleh para Rasul.

Tidak satu barispun dari kitab-kitab Perjanjian Baru dituliskan sampai setidaknya 10 tahun setelah wafatnya Kristus. Yesus disalibkan pada circa tahun 33 dan kitab Perjanjian Baru yang pertama ditulis yaitu surat 1 Tesalonika baru ditulis sekitar tahun 50 Masehi. Sedangkan kitab terakhir yang ditulis yaitu kitab Wahyu Yohanes pada sekitar 90-100 Masehi. Jadi anda bisa melihat kesimpulan penting disini: Gereja dan iman Katolik sudah ada sebelum Alkitab dijadikan. Beribu-ribu orang bertobat menjadi Kristen melalui khotbah para Rasul dan missionaris di berbagai wilayah, dan mereka percaya kepada kebenaran Ilahi seperti kita percaya sekarang, dan bahkan menjadi orang-orang kudus tanpa pernah melihat ataupun membaca satu kalimatpun dari kitab Perjanjian Baru. Ini karena alasan yang sederhana yaitu bahwa pada waktu itu Alkitab seperti yang kita kenal, belum ada. Jadi, bagaimanakah mereka menjadi Kristen tanpa pernah melihat Alkitab? Yaitu dengan cara yang sama orang non-Kristen menjadi Kristen pada masa kini, yaitu dengan mendengar Firman Allah dari mulut para misionaris.

GEREJA KATOLIK MENETAPKAN KITAB PERJANJIAN BARU
Ke-dua puluh tujuh kitab diterima sebagai Kitab Suci Perjanjian Baru baik oleh umat Kristen Katolik maupun Kristen lain. Pertanyaannya adalah: Siapa yang memutuskan kanonisasi Perjanjian Baru sebagai kitab-kitab yang berasal dari inspirasi Allah? Kita tahu bahwa Alkitab tidak jatuh dari langit, jadi darimana kita tahu bahwa kita bisa percaya kepada setiap kita-kitab tersebut?

Berbagai uskup membuat daftar kitab-kitab yang diakui sebagai inspirasi Ilahi, diantaranya: [1] Mileto, uskup Sardis pada tahun 175 Masehi; [2] Santo Irenaeus, uskup Lyons - Perancis pada tahun 185 Masehi; [3] Eusebius, uskup Caesarea pada tahun 325 Masehi.

Pada tahun 382 Masehi, didahului oleh Konsili Roma, Paus Damasus menulis dekrit yang menulis daftar kitab-kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru yang terdiri dari 73 kitab.

Konsili Hippo di Afrika Utara pada tahun 393 menetapkan ke 73 kitab-kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.

Konsili Kartago di Afrika Utara pada tahun 397 menetapkan kanon yang sama untuk Alkitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Catatan: Ini adalah konsili yang dianggap oleh banyak pihak non-Katolik sebagai yang menentukan bagi kanonisasi kitab-kitab dalam Perjanjian Baru.

Paus Santo Innocentius I (401-417) pada tahun 405 Masehi menyetujui kanonisasi ke 73 kitab-kitab dalam Alkitab dan menutup kanonisasi Alkitab.

Jadi kanonisasi Alkitab telah ditetapkan di abad ke empat oleh konsili-konsili Gereja Katolik dan para Paus pada masa itu. Sebelum kanon Alkitab ditetapkan, ada banyak perdebatan. Ada yang beranggapan bahwa beberapa kitab Perjanjian Baru seperti surat Ibrani, surat Yudas, kitab Wahyu, dan surat 2 Petrus, adalah bukan hasil inspirasi Allah. Sementara pihak lain berpendapat bahwa beberapa kitab yang tidak dikanonisasi seperti: Gembala Hermas, Injil Petrus dan Thomas, surat-surat Barnabas dan Clement adalah hasil inspirasi Allah. Keputusan resmi wewenang Gereja Katolik menyelesaikan hal diatas sampai sekitar 1100 tahun kemudian. Hingga jaman Reformasi Protestan, praktis tidak ada lagi perdebatan akan kitab-kitab dalam Alkitab.

Melihat sejarah, Gereja Katolik menggunakan wibawa dan kuasanya untuk menentukan kitab-kitab yang mana yang termasuk dalam Alkitab dan memastikan bahwa segala yang tertulis dalam Alkitab adalah hasil inspirasi Allah. Jika bukan karena Gereja Katolik, maka umat Kristen tidak akan dapat mengetahui yang mana yang benar.

KITAB VULGATA - KARYA SANTO YEREMIA
Ketika Kabar Gembira telah tersebar luas dan banyak orang menjadi Kristen, merekapun dibekali dengan terjemahan Kitab Perjanjian Lama dalam bahasa asli mereka yaitu Armenia, Siria, Koptik, Arab dan Ethiopia bagi umat Kristen perdana di wilayah-wilayah ini. Bagi umat Kristen di Afrika dimana bahasa Latin paling luas digunakan, ada terjemahan kedalam bahasa Latin yang dibuat sekitar tahun 150 Masehi dan juga terjemahan berikutnya bagi umat di Italia. Akan tetapi semua ini akhirnya digantikan oleh karya besar yang dibuat oleh Santo Yeremia dalam bahasa Latin yang disebut "Vulgata" pada abad ke-empat. Pada masa itu ada kebutuhan besar akan Kitab Suci dan ada bahaya karena variasi terjemahan yang ada. Oleh karena itu sang biarawan, yang mungkin pada waktu itu adalah orang yang paling terpelajar, atas perintah Paus Santo Damascus pada tahun 382, membuat terjemahan Kitab Perjanjian Baru dalam bahasa Latin dan mengoreksi versi-versi yang ada dalam bahasa Yunani. Lantas di Bethlehem antara tahun 392-404, dia juga menterjemahkan Kitab-kitab Perjanjian Lama langsung dari bahasa Ibrani (jadi bukan dari Septuagint) kedalam bahasa Latin, kecuali kitab Mazmur yang direvisi dari versi Latin yang sudah ada. Ini adalah Alkitab lengkap yang diakui resmi oleh wewenang Gereja Katolik, yang nilainya tak terukur menurut para ahli alkitab masa kini, dan terus mempengaruhi versi-versi lainnya sampai pada jaman Reformasi Protestan. Dari Vulgata inilah dihasilkan terjemahan dalam bahasa Inggris yang terkenal yaitu Douai-Rheims Bible.

HILANGNYA KITAB-KITAB ASLI
Hingga ditemukannya mesin cetak pada tahun 1450, semua Alkitab adalah hasil salinan tangan yang kita sebut manuskrip. Alkitab lengkap tertua yang masih ada hingga sekarang berasal dari abad ke-empat, dan isinya sama dengan Alkitab yang dipegang oleh umat Katolik yaitu terdiri dari 73 kitab. Apa yang terjadi dengan manuskrip-manuskrip asli yang ditulis oleh para penulis kitab Injil? Ada beberapa alasan akan hilangnya kitab-kitab asli tersebut:

Beberapa ratus tahun pertama adalah masa-masa penganiayaan terhadap umat Kristen. Para penguasa yang menindas Gereja Katolik menghancurkan segala hal yang menyangkut Kristenitas yang bisa mereka temukan. Selanjutnya, kaum pagan (non-Kristen) juga secara berulang-ulang menyerang kota-kota dan perkampungan Kristen dan membakar dan menghancurkan gereja dan segala benda-benda religius yang dapat mereka temukan disana. Lebih jauh lagi, mereka bahkan memaksa umat Kristen untuk menyerahkan kitab-kitab suci dibawah ancaman nyawa, lantas membakar kitab-kitab tersebut.

Alasan lainnya: media yang dipakai untuk menuliskan ayat-ayat Alkitab, disebut papirus - sangat mudah hancur dan tidak tahan lama, sedangkan perkamen, yang terbuat dari kulit binatang dan lebih tahan lama, sulit didapat. Kedua materi inilah yang disebutkan dalam 2 Yohanes 1:12 dan 2 Timotius 4:13. Umat Kristen perdana, setelah membuat salinan Alkitab, juga tampak tidak terlalu peduli untuk menjaga kitab aslinya. Mereka tidak beranggapan penting untuk memelihara tulisan-tulisan asli oleh Santo Paulus atau Santo Matius oleh karena mereka percaya penuh kepada kuasa mengajar Gereja Katolik yang mengajarkan iman Kristen melalui para Paus dan para uskup-uskupnya. Umat Katolik tidak melandaskan ajaran-ajarannya pada Alkitab semata-mata, tetapi juga kepada Tradisi Hidup, dari Gereja Katolik yang infallible. ubi Ecclesia, ibi Christus.

ALKITAB PADA ABAD PERTENGAHAN
Segenap umat Kristen berhutang budi kepada para kaum religius, imam, biarawan dan biarawati yang menyalin, memperbanyak, memelihara dan menyebar-luaskan Alkitab selama berabad-abad. Para biarawan adalah kaum yang paling terpelajar pada jamannya dan salah satu kegiatan utama mereka adalah menyalin isi Alkitab sedangkan biara-biara menjadi pusat penyimpanan naskah-naskah Alkitab ini. Umumnya masing-masing biara-biara di abad pertengahan memiliki perpustakaan tersendiri. Tidak kurang dari para raja dan kaum bangsawan dan orang-orang terkenal meminjam dari biara-biara ini. Para raja dan kaum bangsawan itu sendiri, bersama para Paus, uskup dan kepala-kepala biara, sering menghadiahkan Kitab Suci yang diberi hiasan yang indah kepada biara-biara dan gereja-gereja di seluruh Eropa.

Untuk menyalin satu Alkitab lengkap, diperlukan sekurangnya 10 bulan tenaga kerja dan sejumlah besar perkamen yang mahal harganya untuk memuat lebih dari 35000 ayat-ayat dalam Alkitab. Hal ini menjelaskan mengapa orang banyak tidak mampu memiliki setidaknya satu set Alkitab lengkap di rumah-rumah mereka. Mereka biasanya hanya memiliki salinan dari sejumlah pasal dalam Alkitab yang populer. Jadi kebiasaan memiliki bagian tertentu dari Alkitab secara terpisah adalah kebiasaan yang sepenuhnya Katolik dan yang hingga kini masih dilakukan.

Alkitab pada abad pertengahan umumnya ditulis dalam bahasa Latin. Hal ini dilakukan sama sekali bukan dimaksudkan untuk menyulitkan umat yang ingin membacanya. Kebanyakan orang pada masa itu buta huruf, sedangkan mereka yang mampu membaca, juga dapat mengerti bahasa Latin. Latin adalah bahasa universal pada waktu itu. Mereka yang mampu membaca lebih menyukai membaca Vulgata, versi Latin dari Alkitab. Oleh karena kenyataan tersebut, tidak ada alasan kuat untuk menterjemahkan Alkitab ke dalam bahasa-bahasa setempat secara besar-besaran. Namun meski demikian harap diingat bahwa sepanjang sejarah Gereja Katolik tetap menyediakan terjemahan Alkitab dalam bahasa-bahasa setempat.

MARTIN LUTHER DAN ALKITAB PROTESTAN
Pada tahun 1529, Martin Luther mengajukan kanon Palestina yang menetapkan 39 kitab dalam bahasa Ibrani sebagai kanon Perjanjian Lama. Luther mencari pembenaran dari keputusan konsili Jamnia (yang adalah konsili imam Yahudi, jadi bukan sebuah konsili Gereja Kristen!) bahwa tujuh kitab yang dikeluarkan dari Perjanjian Lama tidak memiliki kitab-kitab aslinya dalam bahasa Ibrani. Luther melakukan hal tersebut terutama karena sejumlah ayat-ayat yang terdapat pada kitab-kitab tersebut justru menguatkan doktrin-doktrin Gereja Katolik dan bertentangan dengan doktrin-doktrin baru yang dikembangkan oleh Martin Luther sendiri.

Oleh karena alasan yang serupa, Martin Luther juga nyaris membuang beberapa kitab-kitab lainnya: surat Yakobus, surat Ibrani, kitab Ester dan kitab Wahyu. Hanya karena bujukan kuat oleh para pendukung kaum reformasi Protestan yang lebih konservatif maka kitab-kitab diatas tetap dipertahankan dalam Alkitab Protestan. Namun demikian, tidak kurang Martin Luther mengecam bahwa surat Yakobus tidak pantas dimasukkan dalam Alkitab.

Untuk mendukung salah satu doktrinnya yang terkenal yaitu Sola Fide (bahwa kita dibenarkan hanya oleh iman saja), dalam Alkitab terjemahan bahasa Jerman, Martin Luther menambahkan kata 'saja' pada surat Roma 3:28. Sehingga ayat tersebut berbunyi: "Karena kami yakin, bahwa manusia dibenarkan karena iman saja, dan bukan karena ia melakukan hukum Taurat". Tidak heran kalau Martin Luther meremehkan surat Rasul Yakobus dan berusaha untuk membuangnya dari Perjanjian Baru, karena justru dalam surat Yakobus ada banyak ayat yang menjatuhkan doktrin Sola Fide yang diciptakan oleh Martin Luther tersebut. Antara lain, dalam Yakobus 2:14-15 tertulis: "Apakah gunanya, saudara-saudaraku, jika seorang mengatakan, bahwa ia mempunyai iman, padahal ia tidak mempunyai perbuatan? Dapatkah iman itu menyelamatkan dia?" dan Yakobus 2:17 "Demikian juga halnya dengan iman: Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati" dan Yakobus 2:24 "Jadi kamu lihat, bahwa manusia dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya dan bukan hanya karena iman."

Pertanyaannya sekarang adalah: Kitab Perjanjian Lama manakah yang lebih baik anda baca? Kitab Perjanjian Lama yang digunakan oleh Yesus, para penulis kitab-kitab Perjanjian Baru dan Gereja purba? Atau Kitab Perjanjian Lama yang ditetapkan oleh imam-imam Yahudi yang menolak Yesus Kristus dan menindas umat Kristen purba?

ALKITAB KATOLIK
Bahkan sebelum pecahnya Reformasi Protestan, ada banyak versi-versi Alkitab yang beredar pada masa itu. Banyak diantaranya mengandung kesalahan-kesalahan yang disengaja - seperti dalam kasus-kasus kaum bidaah, penyeleweng ajaran gereja yang berusaha mendukung doktrin-doktrin yang mereka ciptakan sendiri, dengan menuliskan Alkitab yang sudah diganti-ganti isinya. Ada juga kesalahan-kesalahan yang tidak disengaja oleh karena faktor manusia (human error), mengingat pekerjaan menyalin Alkitab dilakukan dengan tulisan tangan, ayat demi ayat, yang sangat memakan waktu dan tenaga.

Oleh karena itu pada Konsili di Florence pada abad ke lima belas, para pemimpin Gereja menguatkan keputusan yang dibuat pada konsili-konsili sebelumnya mengenai kitab-kitab yang ada dalam Alkitab.

Setelah meletusnya Reformasi Protestan, pada Konsili Trente oleh Gereja Katolik pada tahun 1546 dikeluarkanlah dekrit yang mensahkan Vulgata, versi Latin dari Alkitab sebagai satu-satunya versi resmi yang diakui dan sah untuk umat Katolik. Alkitab ini direvisi oleh Paus Sixtus V pada tahun 1590 dan juga oleh Paus Clement VIII pada tahun 1593.

Selanjutnya pada konsili Vatikan I, kembali Gereja Katolik menegaskan keputusan konsili-konsili sebelumnya tentang Alkitab.

Oleh karena itu di akhir tulisan ini, kita dapat membuat beberapa kesimpulan:

Berdasarkan sejarah, Alkitab adalah sebuah kitab Katolik. Perjanjian Baru ditulis, disalin dan dikoleksi oleh umat Kristen Katolik. Kanon resmi dari kitab-kitab yang membentuk Alkitab - Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru - ditentukan secara berwibawa oleh wewenang Gereja Katolik pada abad ke empat.

Menuruti akal sehat dan logika, Gereja Katolik yang memiliki kuasa untuk menentukan Firman Allah yang infallible - bebas dari kesalahan -, pasti juga memiliki otoritas yang infallible - bebas dari kesalahan - dan juga bimbingan dari Roh Kudus. Seperti telah anda lihat, terlepas dari deklarasi oleh Gereja Katolik, kita sama sekali tidak memiliki jaminan bahwa apa yang tertulis dalam Alkitab adalah Firman Allah yang asli. Jika anda percaya kepada isi Alkitab maka anda juga harus percaya kepada wibawa Gereja Katolik yang menjamin keaslian Alkitab. Adalah suatu kontradiksi bagi seseorang untuk menerima kebenaran Alkitab tetapi menolak wibawa Gereja Katolik. Logikanya, mereka mestinya tidak mengutip isi Alkitab sama sekali, karena mereka tidak memiliki pegangan untuk menentukan kitab-kitab mana saja yang asli, kecuali tentunya kalau mereka menerima wibawa mengajar Gereja Katolik.

TANYA - JAWAB
Pertanyaan: Mengapa Alkitab umat Katolik terdiri dari 73 kitab sedangkan Alkitab umat Protestan terdiri dari 66 kitab?
Jawaban: Gereja Katolik melandaskan Perjanjian Lama pada Kanon Alexandria - lebih dari satu abad sebelum kelahiran Yesus Kristus - yang menetapkan 43 kitab yang disebut Septuagint sebagai kitab-kitab Perjanjian Lama. Protestan melandaskan Perjanjian Lama pada Kanon Palestina yang diadakan oleh imam-imam Yahudi untuk memerangi umat Kristen, sekitar tahun 100 Masehi. Perlu dicatat bahwa baik Yesus maupun para murid-muridNya menggunakan Septuagint yaitu berdasarkan Kanon Alexandria. Tidakkah anda sebagai umat Kristen, mestinya memakai Kitab Perjanjian Lama yang dipergunakan oleh Yesus dan para murid-muridNya, dan bukan malahan menggunakan versi Perjanjian Lama yang ditetapkan oleh para imam Yahudi yang ditetapkan puluhan tahun setelah wafat dan kebangkitan Yesus?

Pertanyaan: Benarkah bahwa Gereja Katolik pernah melarang umat Kristen untuk membaca Alkitab dan apakah benar bahwa atas berkat jasa Martin Luther maka umat Katolik sekarang boleh membaca Alkitab?
Jawaban: Satu-satunya kejadian dalam sejarah Gereja menyangkut larangan kaum awam membaca/memiliki Alkitab dikeluarkan hanya oleh beberapa uskup di Perancis pada abad ke-13 untuk memerangi kaum bidaah Albigensian di Perancis. Larangan itu dihapuskan 40 tahun kemudian setelah pupusnya pendukung bidaah tersebut. Jadi wewenang Gereja Katolik tidak pernah mengeluarkan larangan kepada umat Katolik untuk membaca Alkitab. Apalagi anggapan bahwa Martin Luther memiliki jasa apapun atas Gereja Katolik. Ada dongeng yang mengisahkan bahwa Martin Luther-lah yang "menemukan" Alkitab. Tapi kalau anda membaca buku-buku sejarah gereja yang berbobot, maka anda akan menemukan bahwa justru Martin Luther-lah yang bertanggung jawab menghapuskan kitab-kitab Deuterokanonika dari Perjanjian Lama, dan bahkan nyaris menghapuskan lebih banyak lagi kitab-kitab dari dalam Alkitab.

Pertanyaan: Benarkah bahwa Gereja Katolik mempersulit umat Kristen untuk membaca Alkitab dengan hanya menyediakan terjemahan dalam bahasa Latin?
Jawaban: Pada waktu itu, orang yang mampu membaca, juga mampu membaca Latin. Karena Latin adalah bahasa internasional pada jaman itu. Lebih jauh lagi, Vulgata, versi Latin dari Alkitab hasil karya Santo Yeremia amat digemari oleh umat Kristen. Jadi tidak ada kebutuhan yang mendesak untuk menyediakan Alkitab dalam berbagai bahasa. Namun demikian ada juga terjemahan Kitab Suci dalam bahasa-bahasa setempat.

Pertanyaan: Benarkah bahwa Gereja Katolik pernah membakar Alkitab?
Jawaban: Selama berabad-abad Gereja dilanda oleh berbagai bidaah (heresy). Para pendukung bidaah menggunakan Alkitab yang sudah diselewengkan isinya untuk mendukung doktrin-doktrin mereka sendiri. Gereja Katolik sebagai penjaga keaslian Alkitab juga berhak dan berwibawa untuk memastikan bahwa umat Kristen memiliki Alkitab yang isinya tidak dikorupsi demi kepentingan sekelompok orang. Oleh karena itu otoritas Gereja Katolik memusnahkan alkitab-alkitab yang isinya mengandung kesalahan ini dan sebagai gantinya menyediakan Alkitab yang murni isinya. Martin Luther bukan satu-satunya orang yang pernah mengubah isi Alkitab.

Pertanyaan: Jika penggunaan Alkitab meluas pada abad-abad pertengahan, mengapa hanya sedikit kitab-kitab kuno ini yang tertinggal?
Jawaban: Ada beberapa alasan. Pertama, ada banyak terjadi peperangan sehingga banyak manuskrip-manuskrip kuno ini ikut musnah. Kedua, media yang dipergunakan mudah rusak dan tidak tahan lama. Ketiga, pengrusakan besar-besaran yang dilakukan dengan sengaja seperti pada masa pecahnya reformasi Protestan. Kaum pendukung reformasi Protestan menghancurkan segala hal yang berbau Katolik. Gereja-gereja, biara-biara, tempat-tempat ziarah beserta penghuni dan semua isinya yang bernilai tinggi menjadi korban pergolakan.

Pertanyaan: Mengapa kitab-kitab yang ditolak dari Perjanjian Lama oleh imam-imam Yahudi itu disebut sebagai Deuterokanonika?
Jawaban: Deuterokanonika artinya kira-kira kanon kedua. Disebut demikian karena disertakan setelah melalui banyak perdebatan. Santo Yeremia sendiri pernah mengutarakan kekhawatirannya akan keaslian kitab-kitab tersebut. Akan tetapi keputusan konsili-konsili Gereja Katolik dan para Paus menghentikan perdebatan dan menghapus kekhawatiran para ahli teologi pada masa itu. Santo Agustinus dari Hippo - salah satu Bapa dan Pujangga Gereja - pernah mengatakan begini: "Aku tidak akan meletakkan imanku pada kitab Injil, jika bukan karena otoritas Gereja Katolik yang mengarahkan aku untuk berbuat demikian." Bahwa keputusan Gereja Katolik untuk tetap mempertahankan kitab-kitab Deuterokanonika dan mengabaikan Kanon Palestina, menunjukkan bimbingan Roh Kudus yang membawa kepada segala kebenaran (Yohanes 16:13). Ketika Gulungan-gulungan Laut Mati (Dead Sea Scrolls) ditemukan di Qumran, tepi barat sungai Yordan pada abad ke-20 ini, diantaranya terdapat sebagian salinan-salinan asli dalam bahasa Ibrani atas sejumlah kitab-kitab Deuterokanonika.

Pertanyaan: Mengapa disebutkan bahwa Deuterokanonika terdiri dari tujuh kitab sedangkan dalam Alkitab bahasa Indonesia yang saya miliki ada sepuluh bagian dalam Deuterokanonika?
Jawaban: Tujuh kitab-kitab tersebut adalah Tobit, Yudit, Kebijaksanaan Salomo, Yesus bin Sirakh, Barukh, 1 Makabe dan 2 Makabe. Tambahan-tambahan pada kitab Ester dan Daniel tentunya dimasukkan kedalam kitab-kitab yang bersangkutan sedangkan Surat Nabi Yeremia dimasukkan sebagai pasal 6 dari kitab Barukh. Dalam Alkitab bahasa Indonesia terbitan Lembaga Alkitab Indonesia, kitab-kitab Deuterokanonika diletakkan ditengah, jadi tidak sesuai urutan yang semestinya. Ini untuk memudahkan penerbit yang sama menerbitkan Alkitab versi Protestan, yaitu tanpa Deuterokanonika. Jika anda membeli Alkitab dalam bahasa Inggris seperti di Amerika contohnya, kitab-kitab Deuterokanonika dimasukkan dalam urutannya yang alami. Perlu juga disebutkan disini bahwa versi-versi Alkitab Protestan pada awalnya - seperti versi asli King James Bible - masih memiliki Deuterokanonika di dalamnya.

Pertanyaan: Ada berapakah versi Alkitab dalam bahasa Inggris?
Jawaban: Dalam bahasa Inggris, ada beberapa versi Alkitab baik bagi umat Katolik maupun Protestan. Bagi umat Katolik ada versi RSVCE (Revised Standard Version Catholic Edition) yang dipakai sebagai terjemahan resmi. Ada NAB (New American Bible) yaitu yang merupakan Alkitab yang populer di kalangan umat Katolik di Amerika Serikat. Ada juga NJB (New Jerusalem Bible) yaitu Alkitab yang diterjemahkan dari bahasa Ibrani dan dipakai oleh sebagian kalangan Gereja Katolik dari ritus-ritus Timur. RSVCE adalah versi yang paling serupa dengan bahasa asli kitab suci karena merupakan terjemahan kata-demi-kata. Sedangkan NAB dan NJB serta beberapa versi lainnya merupakan terjemahan yang sudah disesuaikan dengan pemakaian bahasa Inggris pada masa kini, jadi penekanan pada segi arti dari kata-kata/kalimat yang dipakai pada bahasa asli kitab suci. Beberapa versi Alkitab Protestan, diantaranya adalah: RSV (Revised Standard Version), KJV (King James Version), NIV (New International Version), Tyndale Bible dan Zonderfan Bible. Untuk mengenalinya mudah saja, di dalamnya tidak terdapat kitab-kitab Deuterokanonika. Sebetulnya ada juga yang menyertakan kitab-kitab Deuterokanonika, yaitu yang diterbitkan oleh penerbit-penerbit sekuler seperti Oxford dan lain-lain. Namun mereka menyebut Deuterokanonika dengan sebutan Apokrif (Apocripha). Alkitab-alkitab Katolik juga memiliki Imprimatur dan Nihil-Obstat yang dapat anda temukan pada bagian muka dari Alkitab tersebut. Ini praktisnya adalah tanda bahwa buku yang bersangkutan telah diperiksa oleh Gereja Katolik, apakah itu imam ataupun uskup. Jika anda ingin memiliki Alkitab Katolik bahasa Inggris, silakan membeli salah satu versi Katolik yang telah disebutkan diatas. Alkitab NAB selalu memiliki catatan kaki yang membantu memperjelas ayat-ayat dan perikop-perikop dalam Kitab Suci. NAB study-bible terbitan Oxford juga dilengkapi dengan penjelasan-penjelasan sejarah PL dan PB. Harga Alkitab NAB bahasa Inggris bervariasi sekitar US$7 sampai US$24.

Pertanyaan: Ada sementara orang yang percaya bahwa di dalam Alkitab umat Kristiani telah terjadi salah terjemahan yang sangat fatal: yaitu kata "Lord" dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai "Tuhan" dalam bahasa Indonesia, padahal kamus Inggris-Indonesia menyebutkan bahwa kata "lord" mestinya diterjemahkan sebagai "tuan", bukan "Tuhan". Dengan demikian hal ini mendukung teori agama mereka yang mengatakan bahwa Yesus jelas bukan Tuhan dan sekedar manusia biasa.
Jawaban: Pertama-tama perlu ditegaskan disini, bahwa Alkitab bahasa Indonesia tidaklah diterjemahkan dari Alkitab bahasa Inggris. Lihatlah pada bagian awal Alkitab dimana tertulis bahwa "Teks Perjanjian Lama diterjemahkan dari Bahasa Ibrani. Teks Perjanjian Baru diterjemahkan dari Bahasa Yunani. Teks Deuterokanonika diterjemahkan dari Bahasa Yunani". Kedua, perlu diketahui bagi orang Indonesia yang jelas bukan native English speaker - bahwa kata "Lord" dalam Alkitab berarti "God" atau "Tuhan". Kata "Lord" bukan hanya digunakan pada Yesus, tetapi juga pada Allah Bapa dalam ayat-ayat Perjanjian Lama.